Halaman

Senin, 28 April 2014

sinopsis film "mendadak dangdut"



SINOPSIS FILM “MENDADAK DANGDUT”

Petris (Titi Kamal), vokalis wanita alternative rock baru mulai menanjak kariernya. Ia digambarkan sebagai gadis yang egois, pemarah, yang selalu memandang remeh segala sesuatu. Kakak sekaligus manejernya, Yulia (Kinaryosih) kerap dibentak-bentak. Suatu hari mereka tertangkap basah membawa narkoba yang sebenarnya milik kekasih Yulia.
Petris berhasil melarikan diri dengan Yulia dan kabur kesebuah kampung. Disana, ada panggung dangdut keliling yang baru saja ditinggal salah satu penyanyinya. Yulia melihat kesempatan ini untuk menghapus jejak mereka dari polisi dan meminta Petris untuk menjadi penyanyi dangdut mereka untuk sementara. Petris, tentu saja, awalnya menolak. Namun setelah dipikir, Petris akhirnya mau juga dan ternyata ia terus dikontrak jadi penyanyi dangdut Senandung Citayam dengan nama Iis.
Hari-hari Petris diisi dengan tinggal dirumah sang pemilik Senandung Citayam (Dwi Sasono), yang diam-diam disukai oleh Yulia karena personality nya yang ramah. Petris pun semakin hari semakin melatih kemampuan menyanyi dangdutnya karena cengkoknya masih payah. Dari sana, Petris mulai menyadari bahwa hidup tidak pernah semudah yang ia kira. Ia bertemu dengan banyak karakter, dari anak cabul yang sebenarnya merindukan orangtua dan TKI yang setiap hari dipukuli majikannya.
Nama Petris sebagai Iis sang ratu panggung pun semakin meluas dan tawaran Senandung Citayam untuk manggung semakin banyak. Setiap minggunya Petris manggung dan karena keseksiannya, tidak jarang banyak penonton yang ribut karena ingin melihat Iis/Petris dari dekat. Senandung Citayam menjadi sangat sukses dan Petris dan Yulia semakin tenang karena mereka tidak dikejar polisi lagi, walaupun terkadang mereka masih harus sembunyi-sembunyi jika bertemu polisi.
Suatu malam, Petris yang sadar apa yang sudah dilakukannya selama ini menurutnya salah menghardik Yulia dan mengatakan bahwa kakaknya itu egois dan hanya mementingkan diri sendiri. Yulia, dengan air mata berlinang, mengatakan bahwa apakah Petris sudah tidak punya hati. Yulia adalah satu-satunya orang didunia ini yang peduli dengan Petris, karena bagaimanapun, dengan segala sifat sombongnya, Petris tetaplah adiknya. Yulia juga mengingatkan bahwa semenjak orangtua mereka meninggal, Yulia adalah orang yang selalu mengurusi Petris yang tetap tidak mau dewasa. Yulia tertekan kemudian lari menuju rumah pemilik Senandung Citayam tadi, meninggalkan Petris yang terbengong-bengong dan sedih.
Petris sadar bahwa sebenarnya, Yulia adalah orang yang paling berarti dalam hidupnya. Petris menangis memikirkan kata-kata kakaknya. Saat Petris akan minta maaf pada Yulia, sayang sekali semuanya terlambat. Petris melihat polisi berdatangan menggerebek rumah tadi. Untungnya, Petris dan Yulia berhasil kabur namun pada akhirnya mereka tersudut juga. Petris mengambil kesimpulannya bahwa ia bersalah selama ini pada Yulia, dan menyuruh Yulia kabur. Setelah melepaskan Petris dengan sangat menyentuh hati, Yulia kabur sementara Petris dengan tangan terangkat menyerahkan diri pada polisi.
Setelah beberapa bulan dipenjara, kita melihat Petris keluar dari selnya. Namun bukan mengimplikasikan bahwa Petris sudah bebas, namun kakaknya bertemu dengan dia di penjara. Yulia ternyata menyerahkan diri saat Petris kabur, dan akhirnya mereka berdua hidup bebas walalu "dihukum" menyanyi di panggung penjara.

SINOPSIS FILM “MENDADAK DANGDUT”

tersebutlah Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop terkenal. Ia dikagumi bukan hanya karena suara merdunya, tapi juga lirik-lirik penuh makna yang ia ciptakan. Kendati pintar, Petris sombong bukan main. Ia mempekerjakan kakaknya, Yulia (Kinaryosih), sebagai manajer. Petris memperlakukan kakaknya bak seorang babu yang bisa seenaknya disuruh-suruh.

Suatu kali, usai memperlihatkan sikap menyebalkan lewat sebuah wawancara radio, Yulia mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Sial, rupanya polisi sedang merazia. Sialnya lagi, pacar Yulia, Gerry yang semobil bareng mereka, membawa narkoba. Sebelum disatroni polisi, Gerry kabur. Tak ayal lagi Petris dan Yulia jadi tersangka pemilik narkoba itu. Keduanya digiring ke kantor polisi.

Lantaran ngeri pada ancaman hukuman mati buat pemilik narkoba, Petris dan Yulia nekat kabur. Keduanya terdampar di sebuah perkampungan di pinggiran Jakarta. Tak ada yang mengenali Petris sebagai penyanyi pop ternama. Petris heran. Yulia cuma berujar pendek, “Nggak semua orang nonton MTV.”

Oke, nggak semua orang menonton MTV. Tapi, rasanya semua orang menonton infotainment. Walau tak pernah melihat video klip seorang artis, tak mungkin mereka tak pernah melihat seorang artis ternama muncul di infotainment.
Hmmm, jadi film ini dimulai oleh sesuatu yang kelogisannya diragukan. Tapi, jangan mengernyit atau mencibir dulu. Makin diikuti, film ini lumayan menghibur. Petris dan Yulia bergabung dengan sebuah grup organ tunggal bernama Senandung Citayam, pimpinan Rizal (Dwi Sasono). Biar tak terlacak polisi, Yulia mengganti nama Petris jadi Iis. Petris jadi penyanyi dangdut grup organ tunggal itu. Belajar dangdut rupanya tak mudah. Petris susah menimbulkan cengkok dangdut. Asal tahu saja, setelah belajar berkali-kali, Petris (baca Titi Kamal) masih belum kelihatan punya cengkok dangdut yang mantap. Ya, suara Titi belum dangdut banget. Tapi, sekali lagi, ini bukan film yang mengandalkan aktornya mesti sempurna bernyanyi dangdut. Titi dimaafkan.

Syahdan, Petris yang kemudian punya nama beken Iis Maduma jadi idola dangdut di pinggiran Jakarta. Tidak ada yang mengenalinya, walaupun berita soal Petris muncul di banyak tabloid. Hmmm, rupanya tak ada orang kampung yang baca tabloid. Duh, sedemikian parahkah tingkat melek huruf orang Indonesia? Tabloid, alih-alih dibaca, malah diubah jadi kapal mainan dari kertas.

Oke, satu lagi kekuranglogisan di film ini. Tapi, jangan mengernyit dulu. Kita disuguhi kalau Petris yang sukanya main suruh-suruh, bergaya bossy, lantas tersadar kalau orang lain yang selama ini membantunya amat berarti. Petris yang acuh tak acuh jadi perasa. Lewat rangkaian gambar yang disuguhi Rudi dan dialog khas film-film Hollywood yang ditulis Monty Tiwa, Anda diajak tertawa sekaligus menangis. Rudi dan Monty menutup filmnya dengan hal melankolis. Petris menyerahkan diri ke polisi. Gambar disyut Rudi dengan gaya mirip filmnya terdahulu, Mengejar Matahari dan 9 Naga. Agak berlebihan, sih. Tapi, sekali lagi, jangan mengernyit dulu. Sungguh, film ini menghibur. Segala ketaklogisan filmnya, maupun akting kaku polisi di awal cerita (ini jadi catatan tambahan buat sineas sini: jangan merekrut polisi sungguhan main film. Mereka selalu tampil kaku dan merusak film) bisa dimaafkan.

SINOPSIS FILM “MENDADAK DANGDUT”
Karya Rudi Soedjarwo yang berjudul “Mendadak Dangdut” didukung oleh perusahaan mapan seperti SinemArt, namun film ini tampaknya dibuat dengan semangat indie, semangat awal seorang Rudi Soedjarwo ketika merintis karier sebagai pembuat film di kancah perfilman nasional sekembali menimba ilmu di luar negeri. Film ini diselesaikan hanya dalam waktu 7 (tujuh) hari syuting. Selain sebagai sutradara, Rudi juga merangkap menjadi penata fotografi.
(Cara kerja Rudi mengingatkan saya pada pola kerja Emil G Hampp, sutradara yang membuat banyak film seluloid 35mm esek-esek pada masa perfilman nasional mati suri awal hingga pertengahan tahun 1990an. Emil tidak pernah membuat film lebih dari 10 hari syuting. Sutradara film komedi Arizal BA juga terkenal sebagai sutradara kilat yang bisa menyelesaikan sebuah film kurang dari 7 hari syuting. Film-film Warkop DKI rata-rata diselesaikannya dalam 5-6 hari syuting, dengan kamera 35mm. Karya-karya mereka pun sangat laku di pasaran. Selain penguasaan atas selera penonton pada masa film itu dibuat, hanya dengan pola kerja cepat seperti inilah ada jaminan keuntungan bagi para investor.)
Ke-indie-an pembuatan “Mendadak Dangdut” disempurnakan dengan keterlibatan banyak murid-murid Rudi yang bisa dibilang baru bersentuhan dengan cara pembuatan film cerita. Akhir tahun 2005, awal tahun 2006, Rudi sempat menjadi bahan pergunjingan filmmaker karena gencarnya iklan pendidikan kilat untuk menjadi filmmaker bersama Rudi Soedjarwo. Dalam iklan tersebut, bentuk kerja praktek yang ditawarkan adalah membuat film bersama seorang Rudi Soedjarwo. Produksi ekspres film “Mendadak Dangdut” ternyata merupakan ujud nyata dari praktek kerja sebagai filmmaker baru yang ditawarkan itu.
“Rata-rata tidak memiliki latarbelakang film sama sekali,” ujar Rudi sebelum pemutaran perdana di 21 Studio EX. “Tanpa mereka film ini tidak akan pernah ada.”
Berbeda dengan film-film sebelumnya, berdasarkan wawancara sang sutradara dengan berbagai media dalam beberapa waktu terakhir ini, film ini tampaknya tidak lagi dibuat dari sudut pandang film sebagai sebuah karya seni. Film di mata Rudi saat ini adalah salah satu bentuk atau sarana komunikasi. Alhasil, agak repot juga untuk mencoba melihat film ini melulu sebagai karya sinematografi yang bertutur.
Selama duduk menonton, saya cukup terhibur dengan alur cerita “Mendadak Dangdut” yang sebenarnya sangat sederhana, atau mungkin terkesan sederhana dan menyederhanakan kompleksitas unsur kehidupan dalam masyarakat, masyarakat kelas bawah dengan masalah ekonomi sebagai problematik hidup yang utama. Akting pemeran Yulia (Kinaryosih), Rizal (Dwi Sasono) ataupun Mamat (Kipli) sangat berhasil. Mereka sangat komunikatif dalam membawakan pesan-pesan yang ingin disampaikan sutradara dan penulis skenario.
Sebagaimana kita ketahui, seorang penjual kaki lima, tukang obat di emperan toko atau alun-alun kota, salesman, diplomat ataupun politisi memang harus membekali diri dengan seni peran (atau berakting) dalam berkomunikasi dengan lawan bicara mereka. Sudah seyogyanyalah bila Rudi pun mengembangkan bakat akting para pemeran dalam media komunikasi audio-visualnya ini. Dan ia berhasil mengasah akting mereka mengingat bahwa sebagai aktor dan aktris baik Kinaryosih maupun Rizal masih bisa dibilang pemula.
Meskipun terasa ada kecanggungan melihat cara Titi Kamal membawakan peran Petris alias Iis Maduma, tapi kecanggungan ini adalah sah adanya mengingat Titi membawakan peran sosok penyanyi pop rock kelas MTV yang tiba-tiba harus menjadi penyanyi dangdut kampung di pinggiran kota Jakarta.
Dari tinggal di rumah gedongan, tiba-tiba harus tinggal di rumah kontrakan. Perubahan drastis secara mendadak pastinya menimbulkan berbagai kecanggungan. Belum lagi kalau kita memasukkan status buronan hukum yang pasti mempengaruhi kepribadian sosok Petris selama menjadi Iis Maduma. Justru kecanggungan itu menunjukkan keberhasilan Titi Kamal dalam memerankan diri Iis Maduma.
Berbeda dengan “9 Naga” (2006), skenario “Mendadak Dangdut” jelas jauh lebih matang dan mencerminkan keberhasilan sang penulis, Monty Tiwa, dalam menggambarkan sejuring kehidupan masyarakat ‘kelas’ dangdut. Penggambaran kalangan masyarakat bawah yang tinggal di rumah kontrakan cukup gamblang dan mewakili. Ada kesulitan hidup, ada rasa ingin tahu terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar, ada penderitaan, serta ada juga kegembiraan., Kegembiraan memang tidak berarti berkaitan dengan barang mahal. Meski hidup pas-pasan, sosok Mamat sudah menemukan kegembiraannya sendiri dengan membuat kapal terbang kertas dari lembar tabloid misalnya.
Dialog skenario pun mengalir dengan lancar dan tidak terasa mengada-ada. Misalnya saja percakapan antara Petris dan Yulia dalam adegan Yulia mencuci baju. Sebelumnya digambarkan bahwa Yulia cemburu melihat upaya Rizal mendekati Petris sementara dia sendiri jatuh cinta pada Rizal. Kecemburuan ini merupakan puncak rasa kesal terpendam karena selama hidupnya Petris selalu memperlakukan Yulia seperti majikan memperlakukan pembantunya. Percakapan Yulia yang sebetulnya sedang marah ketika menjawab pertanyaan Petris tapi tetap mencoba berkelit dan menutup-nutupi kemarahannya ini sangat mendekati dialog sejenis dalam kehidupan sehari-hari. Percakapan antara dua orang yang sebetulnya sangat dekat, kakak beradik pula, sehingga sungkan untuk menyatakan perasaan hati yang sebenarnya. Ada rasa takut bahwa bila berkata jujur hubungan keduanya bisa rusak, tidak harmonis seperti semula.
Bila kita melihat “Mendadak Dangdut” dari sudut pandang film sebagai karya seni, kita mungkin akan tergerak untuk mempertanyakan ketimpangan kostum Petris di panggung dengan kostum kesehariannya. Kostum keseharian sebagai Iis Maduma, dengan baju pinjaman dari tetangga, sudah sangat pas dengan kostum kelas masyarakat yang ingin ditampilkan, Namun saat di atas panggung, kostum yang dipakai Iis Maduma masih terlihat terlalu mahal. Ada upaya menorakkan kostum supaya tampak dangdut, dan memang terlihat dangdut, tapi tetap terlihat masih norak yang mahal ketimbang logika pemasukan seniman dangdut sekelas Rizal dan Iis Maduma. Bila sosok Iis Maduma dan Rizal adalah penyanyi dangdut panggung besar, bukan grup organ tunggal, pertanyaan itu tidak akan terbersit di benak saya. Untuk kelas panggung besar, kostum bisa disewa. Untuk kelas organ tunggal, kostum pasti beli jadi atau dijahit sendiri.
Kita juga mungkin akan tergerak untuk menanyakan kenapa Rizal, Mamat dan ibunya tidak ada pada saat penangkapan di akhir cerita? Bukankah proses penangkapan akan membuat heboh warga sekampung? Bisa saya bayangkan, bila mereka ada dalam frame saat Iis Maduma diborgol petugas misalnya, proses penangkapan pastinya akan terasa lebih menyentuh dan penonton akan tergiring semakin bersimpati pada mereka. Untungnya, tanda tanya itu sirna bersamaan dengan simpati penonton yang tergiring kembali ke sosok Yulia dan Petris dalam adegan pertemuan keduanya di kantor polisi. Yaitu, ketika kedua kakak-beradik itu saling “menyodorkan” diri untuk menjadi tersangka.
Tetapi, seperti disebutkan di awal tulisan ini, Rudi menyodorkan film bukan lagi sebagai karya seni melainkan media komunikasi. Artinya, kita bicara pesan. Pesan apa yang ingin disampaikan seorang Rudi Soedjarwo dalam film ini?
Hubungan kakak beradik yang pasang surut tapi tetap saling mengasihi karena memang berdasarkan cinta kasih hubungan sedarah?
Kerasnya kehidupan masyarakat kelas bawah?
Atau, bila dikaitkan dengan judul filmnya, apakah Rudi ingin mempertegas bahwa musik dangdut adalah musik yang mementingkan perasaan penonton, menghibur penonton sehingga seharusnya bisa dimengerti dan dinikmati oleh penonton?
(Bila pesan ini yang ingin disampaikan tampaknya tidak berlaku untuk pembuatan film dan hanya berlaku untuk musih dangdut. Pasalnya, pesan ini agak kontradiktif dengan prinsip Rudi Soedjarwo yang pernah menyatakan bahwa bila penonton tidak mengerti filmnya maka penonton lah yang salah, bukan Rudi sebagai filmmakernya! Tapi, pernyataan ini adalah pernyataannya sebagai filmmaker ketika ia masih membuat film sebagai sebuah karya seni, bukan media komunikasi.)
Atau, adakah pesan yang lebih “besar” yang ingin disampaikan kepada penonton? Penderitaan para Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja ke luar negeri misalnya?
Kebobrokan oknum yang menerima kedatangan mereka kembali di tanah air seperti disiratkan dari percakapan tentang hilangnya tabungan ibu Mamat di bandara sehingga ia tidak punya uang lagi untuk menyunatkan Mamat?
Atau tentang polisi Indonesia, bahwa sebenarnya citra polisi tidaklah seburuk cerita-cerita yang kita dengar (dan alami) dalam kehidupan sehari-hari? Polisi sebenarnya cukup berdedikasi dalam pekerjaannya dan tidak melulu memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri bahkan cukup bijak seperti tampak dalam adegan di akhir “Mendadak Dangdut.”
Bila menyimak dari beberapa karyanya, eksistensi polisi tampaknya cukup hadir dalam karya-karya Rudi Soedjarwo. Akreditasi akhir dalam film “9 Naga” dan “Mendadak Dangdut” misalnya, ucapan terima kasih terhadap polisi pun tidak hanya tidak terlupakan, tetapi dituliskan secara rinci. Polisi yang seringkali dihujat oleh mayarakat bahkan ditampilkan sebagai cita-cita hidup pemeran utama dalam “Mengejar Matahari” (2004). Apakah sosok polisi dalam film-filmnya itu adalah sosok polisi harapan seorang Rudi Soedjarwo?
Sosok ideal yang, maaf, berbeda jauh dengan polisi yang kita temui dan hadapi dalam keseharian hidup di alam republik ini. Mengingat kini kita harus melihat karya seorang Rudi Soedjarwo tidak lagi melulu dari sudut pandang karya seni audio-visual, adakah pesan khusus berkaitan dengan kehadiran polisi dalam film “Mendadak Dangdut” yang berbeda dengan film-film sebelumnya?
Bahwa saya bisa menulis beberapa pertanyaan di atas maka itu berarti bahwa pesan-pesan itulah yang berhasil saya tangkap dengan menonton “Mendadak Dangdut”. Pesan yang menurut saya sampai pada diri saya sebagai penonton. Masih adakah pesan lain yang sebenarnya tersirat dari film ini?
“Film ini membuktikan bahwa siapapun, meski tanpa latarbelakang pendidikan film, bisa membuat sebuah film,” ujar Rudi Soedjarwo sesaat sebelum film diputar pada Selasa, 08 Agustus 2006 malam.
Dalam akreditasi akhir memang tidak banyak tercantum nama pekerja film yang saya kenal. Hanya departemen yang berkaitan dengan bunyi masih melibatkan orang-orang yang sudah berpengalaman di dunia film, baik sound designer, sound recordist maupun penata musik. Tentu saja nama produser, penulis dan sutradara/penata fotografi juga sudah sangat kita kenal. Namun mayoritas kru adalah nama-nama baru.
Tampaknya, setelah keberhasilannya menemukan banyak nama pemain baru sejak filmnya “Bintang Jatuh” (2000), kini Rudi Soedjarwo melebarkan proses kaderisasi perfilman nasional ke pekerja film.
(Karena masih terbatasnya lembaga pendidikan di dalam negeri yang khusus untuk pendidikan film, upaya sejenis sudah lama dilakukan oleh Garin Nugroho yang kemudian mengkristal menjadi Set Film Workshop dan Mira Lesmana dengan Miles Production-nya di film cerita; Shanty Harmayn dengan InDocs-nya di film dokumenter, serta Ipang Wahid di dunia perfilman iklan. Ipang telah melakukan kaderisasi sutradara iklan sejak mendirikan rumah produksi 25 Frames pada tahun 2002. Mereka pun banyak melibatkan orang yang tidak memiliki latarbelakang pendidikan film di dalam produksi-produksi mereka. Hal sejenis juga selalu dilakukan oleh teman-teman penata fotografi misalnya.)
Kembali ke “Mendadak Dangdut,” terlepas dari sudut pandang karya seni atau media komunikasi, bagi saya, keseluruhan film itu terasa sangat utuh lahir dari tangan satu orang. Dan sebagai penonton saya terhibur menontonnya. Sesuai dengan esensi musik dangdut seperti yang ‘dipesankan’ film tersebut.
SINOPSIS FILM “MENDADAK DANGDUT
Petris (Titi Kamal) adalah vokalis wanita beraliran alternative rock yang baru naik daun. Sudah dua tangga lagunya menduduki top ten pop chart Indonesia dalam waktu berdekatan. Sayangnya, Petris adalah seorang gadis yang egois, pemarah, yang selalu memandang remeh segala sesuatu. Satu-satunya orang yang dapat mengerti Petris adalah Yulia (Kinaryosih), kakak perempuan Petris yang juga merangkap sebagai managernya. Suatu hari, Petris dan kakaknya secara tidak sengaja terlibat masalah serius yang menyebabkan mereka harus melarikan diri dari kehidupan mereka sebelumnya untuk sementara waktu. Dalam pelariannya, mereka kemudian bersembunyi di sebuah acara rakyat yang sedang menanggap group organ dangdut keliling "Senandung Citayam". Di bawah panggung, tempat mereka bersembunyi, mereka sempat mendengar pertengkaran seru antara pemimpin group "Senandung Citayam", Rizal (Dwi Sasono) dan penyanyi dangdut andalannya, Fetty Manis Madu. Pertengkaran mereka mengakibatkan Fetty akhirnya keluar meninggalkan grup organ tunggal itu. Melihat situasi tersebut, Petris yang masih dalam keadaan panik kemudian langsung menawarkan diri untuk menggantikan Fetty bernyanyi dangdut di atas panggung. Rizal yang tidak punya pilihan lain akhirnya mengiyakan tawaran tersebut dan menyuruh Petris untuk langsung naik ke panggung, bernyanyi dan bergoyang untuk menenangkan penonton yang sudah resah menunggu. Secepat kilat Petris pun mengganti bajunya dan mempertebal make-up-nya layaknya penyanyi dangdut keliling, dan kemudian mendapatkan nama panggung dari Rizal sebagai lis Maduma. Dari sinilah dimulainya perjalanan Petris, alias lis Maduma, yang dalam persembunyiannya harus ikut berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, sambil merasakan betapa sulitnya bekerja keras, memulai sesuatu dari nol. Banyak hal-hal yang tidak pernah ia hadapi sebelumnya terjadi di sini. Sedikit demi sedikit, mau tidak mau, ia mulai belajar memahami dunia barunya. Semua hal baru yang berharga, yang baru akan dirasakan oleh Petris, hanya ketika dia bersedia berubah untuk menjadi mendadak dangdut.

SINOPSIS FILM “MENDADAK DANGDUT”
Mendadak Dangdut berkisah tentang Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop yang sedang naik daun, bersama kakak sekaligus manajernya, Yulia (Kinaryosih). Suatu ketika mereka ditangkap polisi karena didalam mobil yang mereka tumpangi terdapat heroin seberat 5 Kg milik pacar Yulia. Takut akan ancaman hukuman mati membuat mereka akhirnya memutuskan untuk melarikan diri. Dalam pelarian tersebut tanpa sengaja mereka bertemu dengan Rizal, seorang pemain organ tunggal yang baru saja kehilangan penyanyi dangdutnya ketika akan melakukan show disebuah kampung. Petris akhirnya naik pentas untuk bisa mengelabui polisi yang mengejarnya. Dalam perkembangan selanjutnya mereka akhirnya terpaksa tinggal bersama Rizal untuk bersembunyi menghindari kejaran polisi. Selama persembunyian, Petris menjadi penyanyi dangdut dari kampung ke kampung untuk membiayai hidup mereka. Alur cerita serta konflik pun berkembang antara Petris, Yulia, dan orang-orang disekitar mereka. Peristiwa-peristiwa yang mereka lalui pada akhirnya membuat Petris sadar kalau selama ini ia tidak pernah menghargai orang lain.

Dangdut!. Hal pertama yang terlintas dibenak penulis ketika mendengar kata tersebut adalah jenis musik dengan penyanyi bersuara pas-pasan dengan goyang erotis dan kostum yang seksi. Yang kedua adalah ide-ide tentang kalangan masyarakat bawah, kemiskinan dan kesengsaraan. Walaupun saat ini dangdut telah menjelma menjadi musik populer dan tidak lagi selalu dikonotasikan dengan ide-ide tersebut, namun sang sutradara, Rudi Soedjarwo, tetap menggambarkan dangdut seperti kedua hal tersebut dengan cukup pas. Hal ini tampak dalam pemilihan setting, kostum, dan ilustrasi musik atau lagu yang digunakan.

Namun semua hal tersebut menjadi sia-sia ketika konflik serta plot yang dibangun terasa saling bertabrakan dan tumpang tindih. Alur cerita yang tidak logis dan pemaksaan adegan membuat adegan-adegan selanjutnya menjadi tidak berarti. Bila anda mencermati ringkasan cerita pada awal tulisan ini anda pun sudah dapat melihat ketidaklogisan alur cerita, yang dapat dikatakan merupakan kelemahan utama film ini. Selanjutnya, apakah hanya sesederhana itu perlakuan polisi kepada seseorang yang kedapatan membawa 5 Kg heroin? Kenapa Petris dan Yulia harus tinggal bersama Rizal? Apakah mereka tidak memiliki siapa-siapa lagi selain keluarga mereka di Manado? Apakah orang-orang disekitar mereka tidak ada yang mengenali Petris yang notabene adalah seorang penyanyi pop terkenal ? Dan yang paling fatal adalah kenapa pacar Yulia tidak membawa heroin miliknya ketika ia keluar dari mobil ?. Tidak ada penjelasan yang tuntas dari setiap adegan membuatnya seolah terpisah satu sama lain sehingga tidak mampu membangun keseluruhan cerita dengan baik. Seperti kebanyakan film-film kita, dialog serta akting yang lemah juga masih tampak dominan dalam film ini.

Terlepas dari semua kelemahan yang ada, usaha untuk mengangkat tema menyangkut budaya lokal yang sudah mengakar kuat di masyarakat perlu kita hargai. Dengan mengangkat tema lokal membuat beberapa unsur dalam film ini berhasil “masuk” serta “diterima” berbagai lapisan penonton. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari, sebagai contoh, dijadikannya mendadak dangdut menjadi tema party ditempat hiburan kelas atas dan juga menjadi salah satu judul dan tema program acara di salah satu stasiun televisi nasional. Ilustrasi musik atau lagu yang digunakan pun cukup pas sehingga dapat membuat penulis menjentikkan jari untuk mengikuti irama-iramanya. Jablai, salah satu lagu dalam film ini, bahkan hingga saat ini menjadi lebih populer dari filmnya sendiri. Mengutip salah satu lirik dalam lagu Jablai, “Lai lai lai lai lai lai, panggil aku si jablai…” Mendadak Dangdut, benar-benar dangdut! 

Sabtu, 11 Januari 2014

PENERAPAN KRITIK SASTRA FEMINIS PADA NOVEL PEREMPUAN JOGJA KARYA ACHMAD MUNIF



Tugas Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah Gender dalam Sastra
Dosen : Nori Anggraini







Disusun Oleh :
Ayu Safitria
2011070039




FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PAMULANG
2013


Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini. Makalah ini saya buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Gender dalam Sastra.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Tanpa bantuan dari dosen dan teman-teman saya tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita, Amin.


                     


Pamulang,  Desember  2013





KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I      PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.............................................................................. 2
B.  Rumusan Masalah.......................................................................... 3
BAB II    PEMBAHASAN
1.    Penjelasan Gender..................................................................... 4
2.    Sinopsis Novel Perempuan Jogja Karya Achmad Munif.......... 4
3.    Kajian Aspek Penokohan Tokoh Wanita.................................. 5
4.    Kajian Tokoh Lain yang Mempunyai Keterkaitan dengan     Tokoh Perempuan                 6
5.    Sikap Penulis Karya Sastra Perempuan Jogja “Achmad       Munif” Konteks Sosial Pengarang     .............................................................................................. 8
6.    Biografi Pengarang................................................................... 10
BAB III     PENUTUP
A.    Simpulan..................................................................................... 11
B.     Saran........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 12



Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mengdayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangin adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.[1]

Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra adalah gambar kehidupan yang ada di sekitar kita karena sastra adalah cerminan masyarakat. Sastra adalah dunia kecil yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat masalah-masalah kehidupan yang bersumber dari realitas sosial atau kehidupan lingkungan sosial yang ada di alam pikiran pengarang maupun yang dilihat oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Damono dalam Najid (2003:9) bahwa sastra adalah cermin kehidupan. Sastra merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup.
Karya sastra merupakan cermin masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang ada di dalam teori mimetik. Sebagai sebuah cermin masyarakat, karya sastra merupakan cermin realitas sosial yang ada di masyarakat. Kenyataan yang terus berkembang dan tetap hidup sampai sekarang adalah posisi dan tugas perempuan dan laki-laki sesuai kodratnya di dalam kehidupan.
Pengertian gender juga masih berkutat antara pria dan wanita. Berbeda dengan ‘sex’, dalam gender perbedaan antara pria dan wanita lebih diciptakan oleh konstruksi lingkungan atau sosial yang ada. Pembahasan gender lebih menekankan pada karakteristik seperti perilaku, sikap, dan peran yang menempel atau ada pada pria dan wanita yang berasal dari konstruksi sosial. Karena itu, karakteristik tersebut (perilaku, sikap, dan peran) dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, karena gender tercipta dari konstruksi sosial, maka gender bersumber dari manusia atau masyarakat. Apa yang menjadi perbedaan antara pria dan wanita seperti harkat dan martabatnya dapat saling dipertukarkan. Pembedaan manusia seperti ini berdampak pada terciptanya norma-norma tentang ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’.[2]
Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior.[3] Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan jenis kelamin yaitu feminin-maskulin ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas mengandung pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan ”sebagai” perempuan, melainkan ”menjadi” perempuan (Ratna, 2009: 184-185).

1.2.  Rumusan Masalah
Fokus masalah dalam makalah ini, kami memberikan batasan masalah sehingga tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok bahasan. Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah:
1.      Bagaimana penjelasan gender lebih jelasnya?
2.      Bagaimana sinopsis novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif?
3.      Apa yang dibahas dalam kajian aspek penokohan tokoh wanita?
4.   Bagaimana kajian tokoh lain yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh perempuan?
5.   Bagaimana sikap penulis terhadap karya sastra Perempuan Jogja yaitu Achmad Munif?



[1]               A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, (Jakarta: PT. Dunia Pusaka Jaya, 1989), hlm. 99.
[2]               http://sosiologipendidikan.blogspot.com/2013/07/konsep-gender-dan-sex.html
[3]               http://id.wikipedia.org/wiki/gender_sastra 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penjelasan Gender
Karya sastra merupakan pluapan spontan dari perasaan yang kuat dan tidak dipandang lagi sebagai refleksi tindak-tindak manusia. Selain itu merupakan cermin emosi yang dikumpulkan dalam keheningan mendalam, yang kemudian direbisi dalam penciptaan melalui pemikiran. Karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu melukiskan kehidupan sedetail mungkin (Edraswara, 2006:33-34).
Persoalan gender tak akan muncul apabila perbedaan-perbedaan gender berjalan selaras sehingga antara gender laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi dan menghargai. Persoalan muncul ketika ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam relasi gender telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Implikasi lebih luas dari ketimpangan gender adalah perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam mengambil setiap keputusan baik itu yang menyangkut dirinya sendiri maupun masyarakat.
Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
2.2. Sinopsis Novel Perempuan Jogja Karya Achmad Munif
   Ramadan adalah mahasiswa semester akhir di salah satu Universitas di Jogja, mengambil jurusan Hubungan Internasional yang juga bekerja sebagai wartawan di salah satu media masa di Jogja. Ramadhan adalah lelaki yang baik, cerdas, tahu banyak tentang sastra dan juga rendah hati. Ramadhan merupakan anak dari keluarga sederhana dan ia membayar uang kuliahnya menggunakan uangnya sendiri.
 Keluarga RM Sudarsono yang tinggal di pendopo Sudarsanan telah mengenal Ramadhan sejak lama, karena ia sering mewawancarai RM Sudarsono yang merupakan istri dari RA Niken dan ayah dari RM Danudirjo, suami dari Rumanti dan Indri Astuti tentang kebudayaan. Ramadhan sangat mengagumi Rumanti tetapi, kekagumannya itu hanya sebatas kagum karena Rumanti adalah perempuan yang cantik, baik, lemah lembut, penurut terhadap suaminya, tidak berani membantah apa yang dikatakan suaminya dan menyayangi suami serta kedua anaknya.
Rumanti menikah dengan Danu merupakan kehendak dari ayah dan ibunya, karena Danu mengalami stres dan hampir gila ditinggal kekasihnya menikah dengan orang lain. Namun setelah tujuh belas tahun menikah, mantan kekasihnya datang lagi menemui Danu karena diceraikan suaminya. Akhirnya Danu dan Norma menikah dengan persetujuan Rumanti dan dengan terpaksa Rumanti merelakan untuk dimadu, tetapi karena ingin menguasai harta Danu pernikahan itu berlangsung beberapa bulan saja, Norma dimasukan ke penjara setelah terbukti melalakukan percobaan bunuh diri terhadap Danu.
Ramadhan sempat mencintai teman satu kampus bernama Tyas, tetapi karena factor kekayaan yang berbeda jauh akhirnya dia tidak mengungkapkan isi hatinya. Ramadhan hanya menganggap Tyas sbagai teman perempuannya saja.
Suatu ketika, Ramadhan mulai tertarik dengan seorang perempuan yang dilihatnya di kampus. Ia melihat gadis itu lagi pada acara memperingati wafatnya penyair legendaris, Chairil Anwar. Dari saat itulah Ramadhan mulai dekat dengan gadis tersebut yang ternyata merupakan anak dari RM Sudarsono, Raden Indri Astuti. Kecantikan indri membuat Ramadhan jatuh cinta, kali ini dia berusaha dan berjuang mendapatkan cinta Indri meskipun dia bebeda jauh dengan Ramadhan yang jauh lebih miskin daripada Indri. Perjalanan kisah cinta mereka tidak begitu lancar, karena Danu telah menjodohkan Indri dengan temannya, Suwito.
Tetapi Danu tidak mengetahui bahwa Suwito adalah laki-laki tidak baik dan suka main perempuan sehingga Danu membatalkan perjodohannya. Ia mengetahui hal tersebut ketika Danu pulang dari rumah sakit akibat menjadi korban pembunuhan yang dilakukan Norma yang menginginkan uang dari suaminya. Akhirnya, Danu sadar bahwa Rumanti adalah istri yang paling baik. Danu akhirnya mneyetujui Ramadhan dan Indri berpacaran.
2.3. Kajian Aspek Penokohan Tokoh Wanita
          Prempuan Jogja berkisah tentang tiga perempuan yang mencoba untuk melepaskan diri dari belenggu keluarga dan lingkungan. Keteguhan tiga perempuan dengan latar belakang yang berbeda berhasil di uraikan A. Munif dengan jelas dan terperinci, bagaimana tiga perempuan dari Jogja tersebut menyelesaikan masalah dengan caranya masing-masing.
          Perlawanan Rumanti berbeda dengan dua perempuan lainnya. Rumanti seorang istri yang harus merelakan suaminya menikah lagi, meskipun pada awalnya perkawinan mwereka tanpa di dasari oleh rasa cinta. Rumanti menunjukkan perlawanandengan cara tidak melawan, dia hanya diam dan diam karena dia menyadari posisinya dari keluarga miskin dan telah diangkat derajatnya oleh suaminya yang merupakan seorang keturunan darah biru. Meskipun begitu Rumanti tetap yakin bahwa kebahagiaan dan keadilan akan tertuju padanya dengan sikap saling pengertian dalam perkawinan.
          Yang namanya cinta tak ada kata paksaan dan harta seperti itulah yang di rasakan R.A. Indri Astuti yang berdarah biru keturunan ningrat. Cintanya pada seorang wartawan budaya yang jauh dari gelar ningrat harus ia perjuangkan dengan melawan sang kakak yang bersikeras menjodohkannya dengan seorang konglomerat. Indri Astuti percaya cinta tak membutuhkan harta atau tahta yang penting adalah ketulusan.
          Terbelenggu dari kemiskinan, Itulah kehidupan yng harus di jalani Popi, perempuan muda yang masih duduk di bangku SMA. Ibunya selingkuh dengan laki-laki kaya karena tak tahan denagn kemiskinan yang telah bertahun-tahun menjerat keluarganya dan popi pun juga harus merasakan jatuh kedalam lembah hitam apalagi setelah penindasan dan pelecehan yang di lakukan pacarnya, membuat popi berontak melawan segala permasalahan di hidupnya, sampai akhirnya ai berhasil di selamatkan dan di angkat anak oleh keluarga ningrat.
2.4. Kajian Tokoh Lain yang Mempunyai Keterkaitan dengan Tokoh Perempuan
Dalam bagian ini akan mengkaji tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh perempuan. Pada kajian ini, tokoh laki-laki yang dikaji adalah tokoh Suwito yang mempunyai karakteristik sebagai tokoh yang dapat dikatakan tidak setia dan seorang laki-laki tidak baik yang sering mempermainkan perempuan. Pendukung pernyataan tersebut ada pada kutipan:
tangan Suwito memijat-mijat lutut Nita. Gadis itu sediki menggelinjing……… Padahal tidak hanya Nita yang pernah diajak Suwito ke Villa Kaliurang, tetapi juga Nora, Indah, Narmi, dan entah siapa lagi.” (Hlm.114)
Kutipan diatas menunjukan sikap moral Suwito yang tidak baik sering berganti perempuan yang diinginkannya. Selain mengkaji tokoh Suwito, makalah ini juga mengkaji tokoh RM Danudirjo dengan karakteristiknya yang memadu istrinya Rumanti.
          Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, lakon,  maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan pendekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
          Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagi orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kekuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh feminis.[1]
          Penulis menggambarkan tokoh Rumanti sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, setia, gemar, dan pandai mengatur rumah tangga serta mau berusaha keras membahagiakan suaminya seperti pada kutipan:
“ Maka Mbak tidak bisa berbuat lain kecuali menjaga kesetiaan sampai kapanpun.” (Hlm.27)
          Yang dilakukan oleh Rumanti hanya diam dan merestui dirinya dimadu oleh suaminya yang menikah dengan mantan kekasihnya. Jika dilihat dari Danu yang memiliki keterkaitan dengan tokoh Rumanti yang sedang diamati, tokoh Danu memang digambarkan seorang laki-laki yang masih mencintai mantan kekasihnya itu dan dia sempat mengalami stress atau gangguan kejiwaan akibat ditinggalkan oleh mantan kekasihnya itu hingga pada akhirnya dinikahi dengan Rumanti. Kesetiaannya tidak sama halnya dengan pengabdian dan kesetiaan Rumanti, digambarkan pada kutipan:
“ia lupa dengan kesetiaan dan pengabdian Rumanti yang telah menyembuhkan luka-luka dihatinya.” (Hlm.34)
2.5. Sikap Penulis Karya Sastra Perempuan Jogja “Achmad Munif”
A. Konteks Sosial Pengarang
Novel Perempuan Jogja merupakan Novel karangan Achmad Munif. Analisis mengenai bagaimana pengaruh cara pengarang memperoleh penghasilan yakni sebagai sastra terhadap Novel Perempuan Jogja menyangkut latar belakang sosial budaya dan pandangan hidup pengarangnya.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terkecuali pengarang, tidak dapat hidup tanpa kontak sosial. Achmad munif juga mempunyai sebuah hidup sendiri yang didalamnya terdapat lingkungan alam dan budaya yang sangat dihayati. Dalam novel ini Achmad Munif menggambarkan latar cerita dengan adat yang masih kental seperti pada kutipan:
“…….baginya budaya Timur tentu dalam hal ini budaya Nusantara tidak boleh dibiarkan mandeg apalagi tari Jawa.” (Hal.18)
“Rukmanti mengenakan pakaian tradisional Jawa dengan kain dan kebaya.” (Hal.216)
Kutipan diatas masih menjunjung adat istiadat masyarakat Jogja yaitu menjaga budaya Nusantara dan masih menjunjung adat istiadat masyarakat jogja yaitu mengenakan pakaian khas adat jawa yang masih menjadi tradisi.
Achmad Munif dalam Novel Perempuan Jogja berbicara secara spesifik tentang kehidupan Perempuan Jogja berbicara secara spesifik tentang kehidupan Perempuan Jogja. Dalam Novel Perempuan Jogja terdapat terdapat kutipan-kutipan yang menggambarkan masyarakat yang masih mengenal perjodohan, masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat, menggambarkan bahwa kekuasaan mengalahkan kemiskinan. Seperti pada kutipan:
“........Raden Mas Sudarsono tidak punya pilihan lain kecuali cepat-cepat menikahkan puterannya. Mereka memilih Rumanti karena dianggap memiliki potensi untuk mengabdi. Apalagi Rum sendiri memang cantik, bagai bunga mekar dirumput-rumput yang hijau. Bagi keluarga RM Sudarsono, lelaki seperti Danu membutuhkan seorang perempuan cantik, tapi penurut.” (Hlm. 10)
“…… saya tidak pernah menjodohkan Indri dengan Suwito. Sudah lama kita sadari, kini bukan jamannya menjodohkan anak. Semua itu keinginan Danu.” (Hlm.20)
Meskipun ada tokoh-tokoh dari luar yang dilahirkan, namun mereka malah digunakan untuk memperlihatkan pandangan masyarakat tentang kegiatan sehari-hari kehidupan Perempuan di Jogjakarta. Perempuan yang digambarkan adalah perempuan ynag sopan santun, tunduk pada peraturan suami, menghargai dan menghormati orang yang lebih tua, baik yang mengerti tentang tata karma. Hal tersebut dapat dilihat seperti pada tokoh Rukmanti yang penulis gambarkan pada Novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif.
Pada pengamatan sikap penulis karya yang sedang dikaji ini, praduga yang terjadi adalah Achmad Munif adalah penulis laki-laki yang menggambarkan tokoh perempuan dengan pengertiannya maka dengan sendirinya tokoh wanita yang ditampilkan sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Akan berbeda jika Achmad Munif adalah seorang perempuan, maka penggambarannya mungkin akan berbeda, dia akan menghadirkan tokohperempuan yang tegar, mandiri serta penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian bisa saja terjadi.
B. Biografi Pengarang
     Achmad Munif dilahirkan di Jawa Timur, Achmad Munif tumbuh dan dibesarkan dikeluarga yang sederhana, dari didikan orangtuannya yang diimbangi dengan kejujuran dan keuletan sehingga dia dapat melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai seorang wartawan.
Achmad Munif selama menjadi mahasiswa aktif sebagai penulis produktif. Selain itu juga memasuki dunia jurnalistik, juga pernah menjadi penulis sekenario sinetron. Hobinnya sebagai penulis membuahkan hasil sebagai penulis yang terkemuka yang mempunyai ciri khas kedaerahan.
Karirya dibidang seni dimulai dari seni tulis. Waktu luangnya selalu dihabiskan untuk menulis baik artikel, cerpen, dan novelnya yang pernah dimuat dibeberapa media masa. Ajaran orangtuanya sejak kecil dan kehidupannya yang penuh dengan nilai-nilai dan aturan yang disiplin.












BAB III
PENUTUP

3.1.   Simpulan
Persoalan gender muncul ketika ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam relasi gender telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Implikasi lebih luas dari ketimpangan gender adalah perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam mengambil setiap keputusan baik itu yang menyangkut dirinya sendiri maupun masyarakat.
Gambaran masyarakat pada Novel Perempuan Jogja merupakan hasil pengatan penulis atas segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat dilingkungan Yogyakarya. Dalam Novel Perempuan Jogja terdapat terdapat kutipan-kutipan yang menggambarkan masyarakat yang masih mengenal perjodohan, masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat.

3.2.  Saran
Saran kepada mahasiswa agar dapat lebih memahami isi dari makalah ini dan dijadikan informasi atau ilmu tambahan yang bermanfaat. Sedangkan kepada dosen pembimbing agar dapat mengulas kembali materi pada makalah ini, bahwasanya kami sebagai anggota kelompok sangat membutuhkan masukan dan pembelajaran.
Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widya Tama.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: PT. Dunia Pusaka Jaya.

Sumber Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/gender_sastra  artikel ini diakses pada 25 November 2013 pukul 22.01.



[1]               Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 51-52.