Pariksit menunggu hari segera lewat
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.
I
Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing
Jauh di bawahku terpacak rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi
(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)
Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.
II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku.
Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.
Barisan burung-burung yang kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kotaku yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hiup
bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
Telah lama.
Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?
III
Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.
Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.
Karena memang kutakutkan selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari
Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.
IV
Wahai, adakah dia? (Berdetak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)
Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
Dan tak kukenal wajahku kembali.
Di ruang ini, kunobatkan ketajutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.
V
Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.
Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah.
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.
I
Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing
Jauh di bawahku terpacak rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi
(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)
Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.
II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku.
Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.
Barisan burung-burung yang kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kotaku yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hiup
bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
Telah lama.
Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?
III
Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.
Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.
Karena memang kutakutkan selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari
Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.
IV
Wahai, adakah dia? (Berdetak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)
Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
Dan tak kukenal wajahku kembali.
Di ruang ini, kunobatkan ketajutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.
V
Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.
Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah.
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar