Rabu, 24 April 2013

Puisi Deskripsi

Pasar Malam

Hanya ada pada malam hari
Siang hari. Sepi, hanya terlihat terpal-terpal yang menutupi
Permainan anak-anak, pertunjukkan sulap, dan pedagang-pedagang kaki lima adalah isinya
Ramai-ramai orang berdatangan
Berisiknya teriakan si pedagang
"Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga.."
Dari tanah kosong ke tanah kosong dijajaknya
Mencari pendapatan dari pengunjung yang datang
Pencopet pun menjadi bagian dari komunitasnya

Deskripsi Spasi dan Waktu

PANAS TERIK HARI INI


            Jarum jamku menunjuk pada angka dua belas, matahari sedang membakar dahaga, memancarkan seluruh cahaya panasnya yang langsung menyengat kulitku. Rasanya seperti berada di atas gurun pasir tanpa berpakaian.
            Sepanjang jalan, aku dengan beberapa teman sekelasku terpaksa menikmati terik panasnya matahari hari ini, bergerombol, berkendara roda dua menuju sebuah pesta pernikahan. Parung, menyebut namanya saja setiap orang pasti dapat membayangkan betapa gersangnya tiap langkah melewati daerah ini.
            Saat kulewati sebuah gang terdengar gemuruh suara mesin garmen di sebelah kiri jalan, kualihkan pandanganku ke atas bangunan besar itu bertuliskan “PT SINKO GARMEN INDONESIA” yang mungkin sepertinya pasa saat terik matahari menyengat seperti ini waktunya para karyawan beristirahat dengan raut wajah yang kelihatan lusuh, capek, dan lapar. Di perjalanan tak sesekali kami temukan jalan yang keliru mencari rumah di pengantin wanita, bertanya kesana-kemari kepada masyarakat sekitar.
            Perjalanan terus kulanjutkan, terlihat di sebuah gang tertancap janur kuniang yang di salah satu rantingnya bergantungan selembar kertas putih bertuliskan “Hendri Adinata dan Anggi” yang berarti gang ini menunjuk pada lokasi yang kutuju. Seketika kulihat kembali jarum jamku yang kini menunjuk pada angka satu. Tepat satu jam perjalanan dari kampus menuju pesta itu.
            Siang hari pada bulan April ini, setibanya kami di sana belum banyak tamu yang datang. Mulai jelas terdengar alunan suara musik dangdut dari tenda yang berkolaborasi warna antara warna ungu pekat dengan warna putih. Hendri Adinata, teman sekelas kami pada jurusan Sastra Indonesia yang sedang melangsungkan pesta pernikahan tampak menyambut kami dengan wajah gembiranya di mulut tenda resepsi pernikahannya. Ketika melangkah masuk tenda, di sekelilingku terdapat kipas-kipas besar, hiasan-hiasan bunga mekar berwarna-warni, dan kelipan lampu-lampu kecil menghiasi seisi dalam tenda serta puluhan kursi dan meja tamu menambah cantik suasana.
            Dari sebelah kanan tenda, seorang ibu langsung menawarkan sajian prasmanan kepada kami. Berkumpul di satu meja panjang bersama sang pengantin pria, berceloteh, bercerita membicarakan hal yang konyol. Suguhan minuman bersoda dengan beberapa balok kecil es batu di dalam gelas beling  mengguyur tenggorokan, melepas dahaga. Seketikan obrolah kami pun memakan waktu panasnya matahari siang ini. Matahari sudah setengah condong ke barat, panasnya sudah setengah berkurang dari yang kurasakan di perjalanan tadi. Rasanya terbayar sudah lelah melawan panasnya terik matahari di enam belas April ini.
            Sore menyelimuti suasana, menggantikan siang yang panas itu. Kami pun berpamit pulang dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, sementara resepsi pernikahan Hendri terus berlanjut hingga malam nanti memeriahkan pestanya hari ini dengan tamu-tamunya yang terus berdatangan.

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 adalah salah seorang penyair terbaik yang dimiliki Indonesia. Dengan karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru, yang tersebar di pelbagai penjuru.

Sajak-sajaknya, yang sederhana dan jernih namun menyimpan kedalaman tak terduga, telah menjadi suara tersendiri dan memberi corak baru dalam khasanah puisi Indonesia.

Sebagai sastrawan Sapardi Djoko Damono telah berjalan jauh. Berikut kisah perjalanan sang sastrawan:

Sejak di sekolah dasar, Sapardi sudah suka membaca karya sastra, termasuk sajak-sajak penyair nasional dan dunia. Dari sinilah minatnya kepada puisi muncul. Apalagi, setelah bersama keluarganya pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA itulah ia mulai menulis puisi – padahal ia harus belajar keras karena sedang menghadapi ujian kenaikan kelas.

“Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujar si sulung dua bersaudara ini. Walau masih pemula, Sapardi mengirimkan puisi-puisinya ke majalah sastra. Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Selanjutnya puisi-puisinya menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin, sang “paus” sastra Indonesia.

Cucu abdi dalem Keraton Surakarta, yang gemar membuat wayang kulit, ini belakangan menjadi salah-satu penyair terkemuka Indonesia. Melalui kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang memuat 51 sajak, Sapardi menerima anugerah “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia, 1983. Wardiningsih—bekas adik kelasnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang dinikahi pada pada 1965—ikut dalam penerimaan hadiah itu, walau sebelumnya ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang tak suka sastra.

Beruntung Sapardi masuk Jurusan Sastra Barat UGM. “Karena, dengan penguasaan bahasa itu, saya langsung bisa menikmati dan berhubungan dengan sastra asing,” katanya. Kegiatannya di seputar kesenian, teater mahasiswa, musik, mengisi acara sastra RRI, cukup mendukung proses kreatifnya. “Saat itu saya juga sering keliling daerah untuk bermain sandiwara,” ujarnya.

Sapardi pernah bergabung dengan beberapa grup teater, antara lain, Bengkel Teater pimpinan Rendra. Bahkan, untuk membiayai pementasan, ia pernah menggadaikan sepedanya. Ia pun masih sempat menerjemahkan sajak-sajak Yunani, Cina, Rusia. Karena itu, “Saya tidak ada waktu untuk hal yang aneh-aneh.”

Begitu lulus UGM pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, juga empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai dosen yang sastrawan, Sapardi merasa lebih santai, misalnya, sering mengenakan celana jins. “Saya selalu pakai sepatu sandal kalau mengajar,” katanya. Kalau telat menghadiri rapat, “Orang-orang jadi memaklumi karena mereka anggap sastrawan identik dengan ketidakteraturan,” ujarnya, tertawa.

Baginya menulis puisi itu seperti orang melukis. Seperti coretan demi coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf atau kata itu menjadi bermakna. Selanjutnya, Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. “Saya membuat puisi itu bukan untuk menyampaikan suatu pesan atau apa pun,” kata penyair yang salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.

Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat ini sudah menjelajah ke pelbagai negara untuk mengikuti festival puisi. “Benua yang belum pernah saya kunjungi hanya Afrika,” tuturnya. Ia melihat, pembacaan puisi di banyak negara belum sepopuler di Indonesia. “Waktu pementasan festival puisi di Tokyo, yang menonton tidak lebih dari 30 orang,” katanya.

Sapardi juga menulis buku ilmiah. Di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, dan Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983).

Di waktu luang, ia mendengarkan musik. Koleksinya cukup lengkap: dari jazz sampai dangdut. Olahraganya senam ringan, yang penting baginya dapat mengeluarkan keringat. “Kalau orang seperti saya ini kan sudah tidak perlu lagi olahraga yang membentuk otot,” ujarnya.

Minggu, 21 April 2013

ANALISIS SUKU SUNDA



SUKU SUNDA


Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah Korespondensi


Description: D:\unpam.jpeg


Oleh:
Ayu Safitria(2011070039)





UNIVERSITAS PAMULANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
2012




KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang tepat pada waktunya dengan judul Suku Sunda dan Kebudayaanya.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami meminta kritikan dan saran dari pembaca agar kami dapat menyempurnakan kembali makalah ini.
            Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusuna makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.

                                                                        Tangerang, 12 April 2012

                                                                                         Penulis



 DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ...................................................................             i
DAFTAR ISI ...................................................................................             ii
BAB I             PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ....................................................             1
B.     Rumusan Masalah................................................             2
BAB II            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Surat...................................................             3
B.     Jenis-jenis Surat...................................................             4
C.     Ciri-ciri Surat Pribadi...........................................             7
D.    Ciri-ciri Surat Resmi............................................             7
E.     Surat Dinas..........................................................             8
F.      Surat Lamaran Pekerjaan.....................................             9
BAB III          PENUTUP
A.    Kesimpulan dan Saran.........................................            10
DAFTAR PUSTAKA





 BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.[1]
            Dalam rangka melestarikan dan mengembangkan identitas dan kebanggaan masyarakat Jawa Barat akan kebudayaan mereka sendiri,  Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian  Bahasa, Sastra dan Aksara Sunda. Selanjutnya akan timbul pertanyaan seperti apa budaya Sunda yang perlu dilindungi dan dilestarikan tersebut. Sejauh ini memang telah banyak usaha untuk mengidentifikasi bentuk dan jati diri budaya Sunda yang sesungguhnya. Sebagian dari upaya tersebut telah lama dilakukan, sementara perubahan dalam masyarakat  Sunda sepertinya berjalan begitu cepat seiring dengan arus globalisasi. Dengan demikian, pembahasan-pembahasan yang telah dilakukan tersebut mungkin sudah tidak mencerminkan keadaan masyarakat Sunda yang riil pada masa sekarang ini.
            Sementara itu, identifikasi yang akurat dari budaya Sunda sangat diperlukan sebagai pijakan yang kuat untuk mengadakan berbagai tindakan atau kebijakan yang terkait dengan masyarakat Sunda. Untuk itu, diperlukan adanya pengkajian yang sifatnya mutakhir terhadap berbagai aspek dari budaya Sunda dalam kaitannya dengan struktur masyarakat Sunda. Salah satu aspek yang dapat menjadi indikator perkembangan keadaan sosiokultural[2] masyarakat Sunda adalah praktek pemberian nama (onomastics). Praktek pemberian nama ini merefleksikan kondisi psikologis masyarakat Sunda pada tataran makro, yang selanjutnya merefleksikan struktur berfikir dari warganya. Pola pikir seperti ini pada akhirnya akan turut menentukan struktur sosial budaya masyarakat Sunda pada tataran yang lebih praktis. Praktek pemberian nama juga dapat menjadi salah satu indicator idiologis suatu kelompok masyarakat, yang mencakup antara lain nilai-nilai yang dianut (baik-buruk, pantas–tidak pantas), serta keyakinan dan harapan bahwa nama yang diberikan tersebut akan sesuai dengan tuntutan masyarakat pada masa dibuatnya dan atau masa sesudah nama itu diberikan.

1.2. Tujuan
            Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui kebudayaan suku Sunda, memahami salah satu bentuk masalah sosial yang ada dalam masyarakat Sunda, menelaah sistem interaksi dalam kehidupan keseharian suku Sunda serta mengetahui akan kaitannya dengan etnografi.

1.3. Rumusan Masalah
            Secara sosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Sunda mengacu pada prinsip “cageur, bageur, bener, pinter, tur singer”. Filosofi prinsip tersebut menjadi pedoman dalam mengimplementasikan sistem pengetahuan/pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener yaitu jujur, amanah, penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan. Singer artinya kreatif dan inovatif.
            Berangkat dari hal diatas mencerminkan bagaimana pola hidup dari masyarakat suku Sunda itu sendiri. Pemilihan atau penciptaaan nama tampaknya dapat menjadi cerminan dari kondisi sosio-kultural masyarakat tempat si pemberi nama berada. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemberian nama berpotensi untuk menggambarkan persepsi sosial dari pemberi nama, dan barangkali juga si penyandang nama. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa praktek pemberian nama dapat menjadi salah satu indikator struktur sosial budaya dari masyarakat tempat pemberian nama tersebut berlangsung. Dalam pengamatan sekilas, terdapat nama-nama orang Sunda yang berbau etnis, religius, maupun barat-asing. Hal tersebut pun mempengeruhi pola hidup serta pola pikir suku Sunda.

      Beberapa permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.3.1.      Bagaimana pola hidup suku Sunda?
1.3.2.      Seperti apa pola pemberian nama dalam budaya Sunda?
1.3.3.      Bagaimana 7 unsur budaya suku Sunda?
1.3.4.      Apa kaitan 7 unsur kebudayaan dengan etnografi?
1.3.5.      Apa perbedaan dan persamaan dan persamaan pola hidup dan pola pikir dalam suku tersebut?
1.3.6.      Bagaimana perbandingan budaya pernikahan suku Sunda dengan suku Jawa?










BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Suku Bangsa
            Tiap kebudayaan[3] yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, atau kota atau sebagai kelompok adat yang lain, biasa menampilkan suatu corak yang khas. Corak khas dari suatu kebudayaan biasa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil, berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena di antara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan lain.[4]

2.2. Proses Pemberian Nama dalam Budaya Sunda
            Pemberian nama dalam suatu masyarakat tampaknya sangat diwarnai oleh
sistem sosial budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Menurut adat kebiasaan dan konsepsi masyarakat Sunda, pemberian nama kepada seseorang tidak boleh asal saja (gagabah), mengingat bahwa proses pemberian atau pergantian nama itu bersifat sakral dan mempunyai implikasi pada prospek masa datang. Konsekuensinya, proses ini harus melalui tahapan-tahapan ritual, yakni upacara selamatan. Selain agar nama anak itu indah atau gagah kedengarannya, banyak hal yang harus diperhitungkan dalam pemberian nama (seperti hari lahir, pasaran, bulan, serta jam dilahirkan), dengan harapan kelak nama itu membawa berkah, keselamatan, keuntungan, keunggulan bagi si penyandang nama. Jadi, nama tersebut menyiratkan kebijaksanaan (wisdom) dan dapat merefleksikan harapan (expectation) yang dianut masyarakatnya.
            Dalam proses pemberian nama itu biasanya terlibat bukan saja orang tua si bayi, tapi juga kakek-nenek dari kedua belah pihak orang tuanya, bahkan tidak jarang orang luar yang sangat disegani (biasanya seorang guru atau kiai) dan memiliki pengetahuan serta kemampuan adikodrati[5] mengenai kenaasan, kesialan, perbintangan (horoskop) serta perhitungan nilai huruf yang dipergunakan sebagai angka untuk mengetahui peruntungan di dalam perkawinan  (repok jodo) (Mustapa 1991:31). Keanekaragaman nama orang Sunda dapat diasumsikan sebagai cerminan dari keanekaragaman nuansa berpikir masyarakat Sunda, sebagai manifestasi dari kondisi sistem sosiokulturalnya.
            Hal ini berkaitan dengan pola berfikir masyarakat suku Sunda itu sendiri yang dalam melakukan hal apapun harus mempertimbangkannya terlebih dahulu. Masyarakat suku Sunda dalam menerima isu atau informasi cenderung mempertimbangkan siapa yang menyampaikan isu dengan menaruh kepercayaan pada orang tersebut. Masyarakat akan cenderung menerima informasi yang disampaikan oleh orang yang dituakan/dihormati di lingkungannya. Ini menunjukkan suku Sunda cenderung menerima informasi yang disampaikan oleh orang yang telah mereka percayai atau mereka hormati.
Kebenaran informasi cenderung tidak menjadi fokus perhatian karena teralihkan oleh kepercayaan pada si penyampai informasi. Sebaliknya, apabila si penyampai pesan tidak memiliki kredibilitas atau nilai kepercayaan di mata masyarakat maka informasi pun akan sulit diterima. Sebagai contoh, seorang Jaula (Jama’ah Ulama) ketika menyampaikan pesan dakwah, karena posisinya yang dianggap baru dan tidak memiliki latar belakang sesuai kebudayaan/sistem ajaran yang dianut, maka pesan dakwah (sekalipun benar) akan sulit diterima karena terkalahkan oleh sikap strereotip masyarakat yang muncul.[6]
2.3. Pola Hidup Suku Sunda
            Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atau hidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutamaadalah hal meningkatkan taraf hidup. Budaya Sunda juga dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat sunda, ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orangtua.
            Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda.
2.4. Tujuh Unsur Kebudayaan Suku Sunda
            Dari berbagai unsur kebudayaan yang diuraikan terdahulu dapat disimpulkan bahwa memang kebudayaan itu merupakan hal yang luas karena ia merupakan hasil dari alam pikiran manusia dan tindakannya. Namun keanekaragaman tersebut dapat dirumuskan menjadi sesuatu yang umum atau universal. Ada 7 unsur besar yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan yaitu bahasa, agama, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan, mata pencaharian dan sistem peralatan hidup dan teknologi.[7]
a.      Bahasa
            Bahasa merupakan salah satu unsur budaya dan symbol bagi mausia dalam berkomunikasi. Bahasa dalam lingkup yang luas tidak hanya tertuju pada bahasa lisan atau tertulis. Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasi yang disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas.
            Tata karma bahasa adalah aturan sopan santun menggunakan bahasa. Tata krama bahasa juga bisa menjadi alat untuk saling menghormati. Artinya, kalau kita berbicara tidak memakai tata karma bahasa maka kita telah berlaku tidak sopan. Tata karma bahasa terbagi menjadi bahasa kasar, bahasa sedang dan bahasa alus (dalam bahasa Indonesia tidak ada pembagian bahasa).[8]
            Sedangkan pembagian bahasa terdapat pada bahasa daerah, seperti yang dikaji yaitu bahasa Sunda.[9] Masyarakat Sunda di beberapa kota di pantai utara termasuk orang-orang Banten banyak berbicara Jawa dengan selingan bahasa Sunda. Penggunaan bahasa Sunda di kalangan masyarakat yang kuat, kehidupan sehari-hari, sekolah, kuliah, dan bahkan di antara kantor. Berbeda dengan masyarakat Sunda di daerah Bogor, mereka cendrung menggunakan bahasa Sunda yang kasar. Sunda halus yang dianggap asli seperti ini diucapkan di Ciamis, Tasik Malaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur. Dialek yang diucapkan oleh orang yang tinggal di Cianjur dianggap paling menyempurnakan dan Sunda sopan. Sementara Sunda dituturkan di pantai utara, Banten dan Cirebon dianggap kurang sopan. Sementara bahasa yang digunakan oleh masyarakat Baduy dianggap tipe lama dari Sunda. 
b.      Agama
            Koentjaraningrat menganalisis bahwa salah satu dari unsur kebudayaan yaitu religi atau agama termasuk sistem kebudayaan universal. Hal ini dapat dipandang dari sudut religi yang merupakan sebagian dari kebudayaan karena ia menekankan keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan dalam agama asli Indonesia seperti penyembahan dewa-dewa, ruh-ruh halusdan berbagai bentuk upacara yang terkait dengan sistem keyakinan tersebut. Namun dalam hal Islam, religi bukanlah kebudayaan karena ia merupakan suatu ciptaan Ilahi/Tuhan. Ia bukan hasil karya manusia baik noumenon ataupun phenomenon.[10]
            Orang Sunda kebanyakan patuh menjalankan kewajiban beragama, seperti melakukan sholat lima waktu, menjalankan puasa sedangkan hasrat untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci adalah pada umumnya besar. Dengan ditemukan bukti arkeologis yang menunjukkan ciri sifat religius Orang Sunda bihari (masa lalu) berakulturasi dengan masuk pengaruh budaya luar Nusantara, diantaranya terdapat Situs Cangkuang di Kabupaten Garut, Situs Candi Jiwa di Batu Jaya di Kabupaten Karawang, Situs Candi Bojong Menje di Kabupaten Bandung, Situs Kawali di Kabupaten Ciamis dan situs lainnya. Disamping itu orang Sunda terutama di daerah pedesaan banyak pula yang pergi ke makam-makan suci sebagai tanda kaul [11] atau untuk menyampaikan permohonan dan restu sebelum megadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Kepercayaan kepada ceritera-ceritera mite dan ajaran-ajaran agama sering diikuti oleh kekuatan gaib. Upacara-upcara yang berhubungan dengan kaul atau mendirikan rumah, menanam padi yang mengandung banyak unsur-unsur bukan islam, masih sering dilakukan.
            Dilihat dari sudut pelaksanaan kehidupan baragama, upacara slamatan merupakan suatu upacara terpenting. Mengenai upacara slamatan itu terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama aspek waktu, di Priangan biasanya dilakukan pada kamis sore, malam jumat. Kemudian mengenai orang-orang yang diundang, adalah segi yang lain. Di desa-desa biasanya pada upacara slamatan yang diundang adalah kaum tetangga. Undangan dilakukan secara lisan dengan mendatangi rumah yang diundang. Biasanya anggota kerabat laki-laki dari keluarga itu yang datang. Upacara dimulai dengan megucapkan Al-fatihah dan di akhiri dengan Alfatihah pula, isinya tergantung pada maksud mengadakan slamatan itu.[12]
c.       Organisasi Sosial
            Dalam tiap kehidupan masyarakat di organisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam ketentuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari-kehari.
            Sistem kekerabatan dalam masyarakat dimana pengaruh industrialisasi sudah mendalam, tampak bahwa fungsi kesatuan kekerabatan yang sebelumnya penting dalam banyak sektor kehidupan seseorang biasaya mulai berkurang, dan bersama dengan itu adat istiadat yang mengatur kekerabatan sebagai kesatuan mulai mengendor.[13]
            Masyarakat Sunda di Bogor cendrung lebih dikenal dengan masyarakat religius dengan sangat menjaga silaturahmi. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “ silih asih, silih asah dan silih asuh, saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling malindungi. Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan sunda keseimbangan magis[14] di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda melakukan gotong royong untuk mempertahankannya.
            Sistem kekerabatan yang digunakan adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis keturunan kedua belah pihak orang tua. Pada saat menikah, orang Sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, pengantin baru bisa tinggal ditempat kediaman istri atau suami, tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal ditempat baru atau neolokal.      Dilihat dari sudut ego[15], orang Sunda mengenal istilah tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah. Tujuh generasi ke atas terdiri dari kolot, mbah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantur siwur. Sedangkan tujuh generasi ke bawah terdiri dari anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantur siwur.[16]
            Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat dan menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda.[17]
            Seperti contoh organisasi sosial masyarakat Sunda di Bogor yaitu organisasi yang dibentuk oleh pemuda desa sekitar, mereka membentuk suatu organisasi dari perkumpulan pemuda dan pemudi masjid desa tersebut. Penamaan organisasi itu pun tergantuk pada nama masjid yang ada di desa atau lebih khususnya di setiap RT mereka seperti IRMADA (Ikatan Remaja Masjid Nurul Huda). Pada setiap minggunya mereka mengadakan pengajian rutin yang peserta pengajian diikuti oleh seluruh pemuda dan pemudi di lingkungan RT tersebut. Setiap RT berbeda-beda oraganisasi itulah yang menjadi warna pada setiap organisasi. Pada acara-acara keagamaan seperti maulid nabi, isra mi’raj dan lain sebagianya mereka mengadakan acara dan mengundang masyarakat sekitar dan juga organisasi di RT bahkan di desa lain. Biaya yang digunakan pun berasal dari partisipasi masyarakat sekitar, partisipasi itu tidak hanya berupa uang sumbangan acara tetapi makanan ringan maupun makanan pokok untuk para tamu yang datang.
            Tidak hanya aktif dalam perayaan keagamaan melaikan organisasi social ini pun selalu meakukan rutinitas gotong royong setiap minggunya seperti membersihkan masjid dan membersihkan lingkungan RT sekitar berbaur dengan tetangga lainnya.
d.      Kesenian
            Kesenian adalah suatu ekspresi manusia akan keindahan dengan latar belakang tradisi atau sistem budaya masyarakat pemilik karya seni tersebut. Dalam karya seni tersirat pesan dari masyarakatnya yang berupa pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai dan norma.[18]
            Budaya sunda memiliki banyak kesenian , diantaranya adalah kesenian sisngaan, tarian khas sunda, wayang golek,permainan anak kecil yang khas,alat musik sunda yang bisanya digunakan pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas sunda yang menampilkan 2–4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari sisingaan sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acra khitanan. Wayang golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita perwayangan. Wayang diamainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang di mainkan.
Jaipongan adalah pengembangan dan akar dari tarian klasik. Tarian Ketuk Tilu, sesuai dengan namanya Tarian ketuk tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang disebut ketuk sejumlah 3 buah. Alat music khas Sunda yaitu angklung, rampak kendang, suling, kecapi, gong, calung. Selain itu Kacapi Suling adalah salah satu jenis kesenian Sunda yang memadukan suara alunanSuling dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang biasanya diiringi olehmamaos (tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/ alunan tingkat tinggi khas Sunda.Kacapi Suling berkembang pesat di daerah Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan Jawa Barat dan seluruh dunia
Angklung adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu, yang unik, enak didengar angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia. Rampak kendang adalah salah satu instrumen musik tradisional yang di mainkan bersamma–sama instrumen lainnya. Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Disekola-sekolah kabupaten Bogor sudah ditanamkan nilai-nilai kesenian Sunda, siswa-siswa dianjurkan mengikuti ekstrakulikuler degung, di setiap SMP Negeri  khususnya sudah dilengkapi dengan alat-alat degung dan pelatihnya yang nantinya akan di tampilkan pada acara tertentu seperti Hari Kemerdekaan,  gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat.
e.       Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimaksud dalam kebudayaan adalah merupakan uraian dari cabang-cabang pengetahuan. Setiap suku bangsa biasanya mengetahui pengetahuan berdasarkan pokok kajiannya sepeti pengetahuan tentang alam sekitar, mencakup pengetahuan tentang musim, gejala alam dan astronomi.  Selanjutnya pengetahuan tentang tumbuhan merupakan pengetahuan dasar bagi manusia terutama bagi mata pencahariannya bercocok tanam, pengetahuan tentang hewan, tubuh manusia dan lain sebagainya.[19]
Masyarakat Sunda umumnya sangat memahami pengetahuan berladang atau bertani karna masyarakat Sunda lebih di dominasi oleh mata pencahariannya sebagai petani. Sawah yang mereka miliki merupakan hasih dari warisan yang turun temurun.

f.       Mata Pencaharian
Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atau hidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutamaadalah hal meningkatkan taraf hidup. Mata pencaharian pokok orang Sunda diantaranya:
1.      Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet, dan kina.
2.      Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.
3.      Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.
Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan peternak. Masyarakat yang berkebun khususnya teh dan cengkeh banyak ditemukan pada masyarakat Sunda yang berada di daerah puncak. Pada bidang perikanan pun tak sedikit masyarakat yang memiliki kolam ikan empang di dekat rumah mereka.
Adapun pekerjaan diladang yang menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat Sunda, yaitu membersihkan belukar, menebang pohon-pohon, membakakar dahan-dahan dan batang-batang yang telah ditebang, memagari lading, membangun gubuk lading, menanam, menuai, mengikat pada dan mengangkut padi ke lumbung.[20]
g.      Sistem Peralatan dan Teknologi
Hingga kini masyarakat kabupaten Sunda masih menggunakan peralatan tradisional, berbeda dengan masyarakat kotanya. Peralatan tradisional tersebut seperti nyiru yaitu ayakan beras yang dipakai untuk mengayak beras sebelum di masak, selain nyiru adapula aseupan  yaitu alat untuk menanak nasi, dan masih banyak lagi peralatan tradisional yang hingga kini masih banyak penduduk yang memakainya. Kedua peralatan tersebut terbuat dari bambu yang banyak dijual oleh masyarakat Sunda itu sendiri.
Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah bias dibilang berkembang baik. Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa Barat. Pemerintah Jawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi dalam pelayanan pemerintahan. Visi Pemerintah Jawa Barat, yakni "Dengan Iman dan Takwa Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara" merupakan kehendak, harapan, komitmen yang menjadi arah kolektif pemerintah bersama seluruhwarga Jawa Barat dalam mencapai tujuan pembangunannya. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital dan fundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di bidang lainnya.
Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, mengingat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan. Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri.

2.5. Keterkaitan Tujuh Unsur Kebudayaan dengan Etnografi
            Etnografi merupakan kegiatan menguraikan, menjelaskan dan mempublikasikan (mengomunikasikan) berbagai unsur kebudayaan. Tujuan utama etnografi adalah mengkaji memahami dan melaporkan hasil penelitian tentang keadaan penduduk asli atau pribumi, hubungan-hubungannya dalam semua aspek kehidupan, kesadaran terhadap keadaan lingkungannya, dan pandangan hidup mereka. Disiplin ilmu antropologi dengan membawa peneliti yang terlatih dalam hal etnografi untuk bertemu langsung dengan masyarakat dan mengalami kehidupan keseharian mereka untuk mengobservasi apa yang sebenarnya terjadi.[21]
            Untuk merinci unsur-unsur bagian dari suatu kebudayaan sebaiknya dipakai daftar unsur-unsur kebudayaan universal, yang terdiri dari ketujuh unsur kebudayaan diatas, namun akan lebih diperjelas dengan pembagian masyarakat Sunda sesuai demografi dan asal mula sejarah suku Sunda. Sebuah karangan tentang kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut karangan etnografi akan terdiri dari bab-bab seperti terdapat dibawah ini:

2.5.1.      Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
Dalam penelitian ini akan dipilih masyarakat Sunda yang berada di daerah tengah desa. Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan administratif terkecil, yang menempati tingkat yang paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Di samping itu desa juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan hidup yang kecil sifatnya, di suatu wilayah tertentu. Sifat kecilnya itu menyebabkan adanya suatu rangkaian sifat-sifat lain yang khas.
Lokasi tengah desa yang di kelilingi sawah, peternakan seperti ayam, kambig dan kerbau, udaranya masih asri dan sejuk mempengaruhi logat bicara masyarakat Sunda yang lembut, halus dan sopan. Tak heran jika sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, peternak dan berkebun. Hal-hal tersebut disebabkan oleh faktor internalisasi, sosialisasi dan enkulterasi. Internalisasi merupakan suatu proses pengenalan dan pembelajaran yang berlangsung sepanjang hidup seorang individu dari lahir sampai ke liang lahat. Proses tersebut mencakup berbagai sikap, cara mengungkapkan perasaan atau emosi, pemenuhan hasrat, keinginan, nafsu atau keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki oleh individu-individu lain dalam kelompok individu tersebut.[22]
Selanjutnya sosialisasi yaitu proses di mana seorang anggota masyarakat berperilaku sesuai danga aturan-aturan atau toleransi yang telah melembaga dan didukung masyarakat. Seorang individu dalam rangka sosialisasi juga sekaligus akan belajar dan menyesuaikan dirinya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan yang ada dan hidup dalam kebudayaannya, sehingga individu tersebut dapat bersikap, berpikir dan bertindak dan berpikir tidak menyimpang dari yang berlaku dalam masyarakat. Terlebih masyarakat tengah desa yang masyarakatnya sangat awam dalam arti selalu memperhatikan sikap para tetangganya. Masyarakat desa cendrung mengucilkan jika terdapat individu yang tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat itu. Berbeda dengan masyarakat kota yang sama sekali tidak mempedulikan “masa bodo” dengan apapun yang menyimpang di daerahnya karna cendrung sibuk dengan pekerjaannya.
Kemudian enkulterasi atau pembudayaan adalah suatu proses yang dialami anggota suatu masyarakat dalam mempelajari sistem budaya atau adat istiadat yang hidup dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Sistem budaya tersebut adalah nilai-nilai budaya, norma, aturan-aturan dipelajari sampai  mendarah daging atau membudaya dan kemudian menjadi acuan tingkah laku anggota masyarakat. Seperti itulah budaya itu diproses hingga menjadi seorang Sunda. Hal ini membuktikan demogarfi dan lingkungan alam sangat berpengaruh pada unsur kebudayaan lebih khususnya pada sistem pengetahuan, mata pencaharian dan sistem peralatan dan teknologi.

2.5.2.      Asal Mula dan Sejarah Suku Sunda
Kebudayaan Sunda merupakan hasil kreasi masyarakat Sunda yang telah berada di Tatar Sunda (tanah Sunda) jauh sebelum masehi. Mereka disebut dengan urang Sunda yang memiliki sifat ramah, santun dan baik pada kaum pendatang. Peneliti arkeologis[23] mengemukakan, di dataran Sunda telah bermukim kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, mata pencaharian, pola pemukiman dan organisasi sosial.  Terdapat istilah Sunda Buhun atau Sunda Kuna, yaitu segala hal yang dikaitkan dengan budaya orang Sunda pada masa praislam atau sebelum abad ke-17 M. Sunda buhun lebih sering difokuskan pada bahasa, sastra dan aksara Sunda.
Kebudayaan suku Sunda tak lepas dari keberadaan kerajaan-kerajaan di tanah Sunda. Menurut temuan dokumentasi tertulis berupa prasasti dari pertengahan abad ke-5 M, berdiri pemerintah Kerajaan Tarumanegara dengan salah satu rajanya bernama Purnawarman dan beribukota di wilayah Bekasi sekarang. Lanjutan dari Tarumanegara berdirilah Kerajaan Sunda sekitar abad ke-8 M dan Pajajaran sebagai ibukota yang berpusat di daerah Bogor sekarang.



[1]               Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 1982 ), hal.    300.
[2]              Sosiokultural: berkenaan dengan segi sosial dan budaya masyarakat

[3]               Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
[4]               Abdurrahmat Fathoni, Antropologi Sosial Budaya, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006 ), hal. 46.
[5]               Adikodrati: melebihi atau di luar kodrat alam; supernatural.
[7]               Sofia Rangkuti Hasibuan, Manusia Indonesia dan Kebudayaan di Indonesia, Teori dan Konsep, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2002), hal. 149.
[8]               Suhaya, Piwuk Bahasa Sunda, (Jakarta: Yudhistira, 2007), hal. 123.
[9]               Pada bahasa Sunda pembagian bahasa kasar, sedang dan halus seperti kata  ngahakan (bahasa Sunda kasar) digunakan untuk hewan seperti contoh: sato ngahakan parab, dahar (bahasa Sunda sedang) umumnya digunakan antara orang yang setaraf, baik dalam usia maupun status sosialnya, contoh : adi nuju dahar, tuang (bahasa Sunda alus) digunakan untuk berhubungan dengan orang tua, orang yang dituakan atau orang yang dihormati seperti contoh: bapa nuju tuang.
[10]             Op. Cit.
[11]             Kaul dalam adat Sunda orang Bogor yaitu dengan mengadakan sedekahan tiap tahun untuk orang yang sudah meninggal dan diikuti dengan pengajian di makam leh seluruh keluarga.
[12]             Op. Cit., hal.316.
[13]             Abdurrahmat Fathoni, Op. Cit., hal. 104.
[14]             Sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia.
[15]             Dapat pula disebutkan, bahwa orang Sunda mengenal beberapa istilah kekerabatan ditinjau dari ego seperti: Ayah dengan sebutan Apa, Bapa, Pa; Ibu dengan sebutan: Ema, Ma; Kaka laki-laki dengan sebutan Kakang, Kaka, Akang atau Kang; Kakak perempuan dengan sebutan Ceuceu, Euceu, Ceu atau teteh; Kakak laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan Uwa atau Wa; Adik perempuan ayah atau ibu dengan sebutan Bibi, Ibi, Embi atau Bi.
[16]             http://forum.kompas.com/jawa/44419-suku-sunda.html (artikel ini diakses pada 19 april       2012).
[17]             Op. Cit., hal. 311.
[18]             Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya, (Bandung: PT. Setia Purna Inves, 2007), hal. 46.
[19]             Ibid.
[20]             Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Djambatan, 1967), hal. 43-46.
[21]             Marc Gobe, Citizen Brand, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. 78.
[22]             Proses internalisasi ini menjadi bagian dari membentuk kepribdian. Proses ini selalu mengacu pada pembetukan dan perubahan dalam kepribadiandan jati diri seseorang sebagai hasil interaksi dengan individu-individu lain dan dunia luar. Seperti halnya masyarakat Sunda menekankan rasa “hormat” diungkapkan dengan rasa malu ataupun sungkan yang membuat orang Sunda itu bersifat lembut dan sopan.
[23]          Arkeologis (archeological) berkaitan dengan hal-hal yang bersifat purbakala mis.benda-benda kuno peninggalan bangsa masa lampau yang masih ada hingga sekarang.