Rabu, 24 April 2013

Puisi Deskripsi

Pasar Malam

Hanya ada pada malam hari
Siang hari. Sepi, hanya terlihat terpal-terpal yang menutupi
Permainan anak-anak, pertunjukkan sulap, dan pedagang-pedagang kaki lima adalah isinya
Ramai-ramai orang berdatangan
Berisiknya teriakan si pedagang
"Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga.."
Dari tanah kosong ke tanah kosong dijajaknya
Mencari pendapatan dari pengunjung yang datang
Pencopet pun menjadi bagian dari komunitasnya

Deskripsi Spasi dan Waktu

PANAS TERIK HARI INI


            Jarum jamku menunjuk pada angka dua belas, matahari sedang membakar dahaga, memancarkan seluruh cahaya panasnya yang langsung menyengat kulitku. Rasanya seperti berada di atas gurun pasir tanpa berpakaian.
            Sepanjang jalan, aku dengan beberapa teman sekelasku terpaksa menikmati terik panasnya matahari hari ini, bergerombol, berkendara roda dua menuju sebuah pesta pernikahan. Parung, menyebut namanya saja setiap orang pasti dapat membayangkan betapa gersangnya tiap langkah melewati daerah ini.
            Saat kulewati sebuah gang terdengar gemuruh suara mesin garmen di sebelah kiri jalan, kualihkan pandanganku ke atas bangunan besar itu bertuliskan “PT SINKO GARMEN INDONESIA” yang mungkin sepertinya pasa saat terik matahari menyengat seperti ini waktunya para karyawan beristirahat dengan raut wajah yang kelihatan lusuh, capek, dan lapar. Di perjalanan tak sesekali kami temukan jalan yang keliru mencari rumah di pengantin wanita, bertanya kesana-kemari kepada masyarakat sekitar.
            Perjalanan terus kulanjutkan, terlihat di sebuah gang tertancap janur kuniang yang di salah satu rantingnya bergantungan selembar kertas putih bertuliskan “Hendri Adinata dan Anggi” yang berarti gang ini menunjuk pada lokasi yang kutuju. Seketika kulihat kembali jarum jamku yang kini menunjuk pada angka satu. Tepat satu jam perjalanan dari kampus menuju pesta itu.
            Siang hari pada bulan April ini, setibanya kami di sana belum banyak tamu yang datang. Mulai jelas terdengar alunan suara musik dangdut dari tenda yang berkolaborasi warna antara warna ungu pekat dengan warna putih. Hendri Adinata, teman sekelas kami pada jurusan Sastra Indonesia yang sedang melangsungkan pesta pernikahan tampak menyambut kami dengan wajah gembiranya di mulut tenda resepsi pernikahannya. Ketika melangkah masuk tenda, di sekelilingku terdapat kipas-kipas besar, hiasan-hiasan bunga mekar berwarna-warni, dan kelipan lampu-lampu kecil menghiasi seisi dalam tenda serta puluhan kursi dan meja tamu menambah cantik suasana.
            Dari sebelah kanan tenda, seorang ibu langsung menawarkan sajian prasmanan kepada kami. Berkumpul di satu meja panjang bersama sang pengantin pria, berceloteh, bercerita membicarakan hal yang konyol. Suguhan minuman bersoda dengan beberapa balok kecil es batu di dalam gelas beling  mengguyur tenggorokan, melepas dahaga. Seketikan obrolah kami pun memakan waktu panasnya matahari siang ini. Matahari sudah setengah condong ke barat, panasnya sudah setengah berkurang dari yang kurasakan di perjalanan tadi. Rasanya terbayar sudah lelah melawan panasnya terik matahari di enam belas April ini.
            Sore menyelimuti suasana, menggantikan siang yang panas itu. Kami pun berpamit pulang dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, sementara resepsi pernikahan Hendri terus berlanjut hingga malam nanti memeriahkan pestanya hari ini dengan tamu-tamunya yang terus berdatangan.

Sekilas Tentang Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 adalah salah seorang penyair terbaik yang dimiliki Indonesia. Dengan karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru, yang tersebar di pelbagai penjuru.

Sajak-sajaknya, yang sederhana dan jernih namun menyimpan kedalaman tak terduga, telah menjadi suara tersendiri dan memberi corak baru dalam khasanah puisi Indonesia.

Sebagai sastrawan Sapardi Djoko Damono telah berjalan jauh. Berikut kisah perjalanan sang sastrawan:

Sejak di sekolah dasar, Sapardi sudah suka membaca karya sastra, termasuk sajak-sajak penyair nasional dan dunia. Dari sinilah minatnya kepada puisi muncul. Apalagi, setelah bersama keluarganya pindah dari tengah kota yang ramai ke pinggiran kota Solo yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA itulah ia mulai menulis puisi – padahal ia harus belajar keras karena sedang menghadapi ujian kenaikan kelas.

“Saya masih ingat betul, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi yang saya buat di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujar si sulung dua bersaudara ini. Walau masih pemula, Sapardi mengirimkan puisi-puisinya ke majalah sastra. Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Selanjutnya puisi-puisinya menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin, sang “paus” sastra Indonesia.

Cucu abdi dalem Keraton Surakarta, yang gemar membuat wayang kulit, ini belakangan menjadi salah-satu penyair terkemuka Indonesia. Melalui kumpulan puisinya, Sihir Hujan, yang memuat 51 sajak, Sapardi menerima anugerah “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia, 1983. Wardiningsih—bekas adik kelasnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang dinikahi pada pada 1965—ikut dalam penerimaan hadiah itu, walau sebelumnya ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang tak suka sastra.

Beruntung Sapardi masuk Jurusan Sastra Barat UGM. “Karena, dengan penguasaan bahasa itu, saya langsung bisa menikmati dan berhubungan dengan sastra asing,” katanya. Kegiatannya di seputar kesenian, teater mahasiswa, musik, mengisi acara sastra RRI, cukup mendukung proses kreatifnya. “Saat itu saya juga sering keliling daerah untuk bermain sandiwara,” ujarnya.

Sapardi pernah bergabung dengan beberapa grup teater, antara lain, Bengkel Teater pimpinan Rendra. Bahkan, untuk membiayai pementasan, ia pernah menggadaikan sepedanya. Ia pun masih sempat menerjemahkan sajak-sajak Yunani, Cina, Rusia. Karena itu, “Saya tidak ada waktu untuk hal yang aneh-aneh.”

Begitu lulus UGM pada 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, Jawa Timur, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, juga empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai dosen yang sastrawan, Sapardi merasa lebih santai, misalnya, sering mengenakan celana jins. “Saya selalu pakai sepatu sandal kalau mengajar,” katanya. Kalau telat menghadiri rapat, “Orang-orang jadi memaklumi karena mereka anggap sastrawan identik dengan ketidakteraturan,” ujarnya, tertawa.

Baginya menulis puisi itu seperti orang melukis. Seperti coretan demi coretan bagi pelukis, ia menyusun kata demi kata sampai susunan huruf atau kata itu menjadi bermakna. Selanjutnya, Sapardi menyerahkan kepada pembaca untuk memaknai sendiri. “Saya membuat puisi itu bukan untuk menyampaikan suatu pesan atau apa pun,” kata penyair yang salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.

Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat ini sudah menjelajah ke pelbagai negara untuk mengikuti festival puisi. “Benua yang belum pernah saya kunjungi hanya Afrika,” tuturnya. Ia melihat, pembacaan puisi di banyak negara belum sepopuler di Indonesia. “Waktu pementasan festival puisi di Tokyo, yang menonton tidak lebih dari 30 orang,” katanya.

Sapardi juga menulis buku ilmiah. Di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979, dan Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983).

Di waktu luang, ia mendengarkan musik. Koleksinya cukup lengkap: dari jazz sampai dangdut. Olahraganya senam ringan, yang penting baginya dapat mengeluarkan keringat. “Kalau orang seperti saya ini kan sudah tidak perlu lagi olahraga yang membentuk otot,” ujarnya.