Sabtu, 11 Januari 2014

PENERAPAN KRITIK SASTRA FEMINIS PADA NOVEL PEREMPUAN JOGJA KARYA ACHMAD MUNIF



Tugas Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah Gender dalam Sastra
Dosen : Nori Anggraini







Disusun Oleh :
Ayu Safitria
2011070039




FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PAMULANG
2013


Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini. Makalah ini saya buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Gender dalam Sastra.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Tanpa bantuan dari dosen dan teman-teman saya tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita, Amin.


                     


Pamulang,  Desember  2013





KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I      PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.............................................................................. 2
B.  Rumusan Masalah.......................................................................... 3
BAB II    PEMBAHASAN
1.    Penjelasan Gender..................................................................... 4
2.    Sinopsis Novel Perempuan Jogja Karya Achmad Munif.......... 4
3.    Kajian Aspek Penokohan Tokoh Wanita.................................. 5
4.    Kajian Tokoh Lain yang Mempunyai Keterkaitan dengan     Tokoh Perempuan                 6
5.    Sikap Penulis Karya Sastra Perempuan Jogja “Achmad       Munif” Konteks Sosial Pengarang     .............................................................................................. 8
6.    Biografi Pengarang................................................................... 10
BAB III     PENUTUP
A.    Simpulan..................................................................................... 11
B.     Saran........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 12



Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mengdayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangin adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.[1]

Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra adalah gambar kehidupan yang ada di sekitar kita karena sastra adalah cerminan masyarakat. Sastra adalah dunia kecil yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat masalah-masalah kehidupan yang bersumber dari realitas sosial atau kehidupan lingkungan sosial yang ada di alam pikiran pengarang maupun yang dilihat oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Damono dalam Najid (2003:9) bahwa sastra adalah cermin kehidupan. Sastra merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup.
Karya sastra merupakan cermin masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang ada di dalam teori mimetik. Sebagai sebuah cermin masyarakat, karya sastra merupakan cermin realitas sosial yang ada di masyarakat. Kenyataan yang terus berkembang dan tetap hidup sampai sekarang adalah posisi dan tugas perempuan dan laki-laki sesuai kodratnya di dalam kehidupan.
Pengertian gender juga masih berkutat antara pria dan wanita. Berbeda dengan ‘sex’, dalam gender perbedaan antara pria dan wanita lebih diciptakan oleh konstruksi lingkungan atau sosial yang ada. Pembahasan gender lebih menekankan pada karakteristik seperti perilaku, sikap, dan peran yang menempel atau ada pada pria dan wanita yang berasal dari konstruksi sosial. Karena itu, karakteristik tersebut (perilaku, sikap, dan peran) dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, karena gender tercipta dari konstruksi sosial, maka gender bersumber dari manusia atau masyarakat. Apa yang menjadi perbedaan antara pria dan wanita seperti harkat dan martabatnya dapat saling dipertukarkan. Pembedaan manusia seperti ini berdampak pada terciptanya norma-norma tentang ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’.[2]
Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukkan posisi perempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior.[3] Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan jenis kelamin yaitu feminin-maskulin ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas mengandung pengertian psikologis kultural, seseorang tidak dilahirkan ”sebagai” perempuan, melainkan ”menjadi” perempuan (Ratna, 2009: 184-185).

1.2.  Rumusan Masalah
Fokus masalah dalam makalah ini, kami memberikan batasan masalah sehingga tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok bahasan. Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah:
1.      Bagaimana penjelasan gender lebih jelasnya?
2.      Bagaimana sinopsis novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif?
3.      Apa yang dibahas dalam kajian aspek penokohan tokoh wanita?
4.   Bagaimana kajian tokoh lain yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh perempuan?
5.   Bagaimana sikap penulis terhadap karya sastra Perempuan Jogja yaitu Achmad Munif?



[1]               A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, (Jakarta: PT. Dunia Pusaka Jaya, 1989), hlm. 99.
[2]               http://sosiologipendidikan.blogspot.com/2013/07/konsep-gender-dan-sex.html
[3]               http://id.wikipedia.org/wiki/gender_sastra 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penjelasan Gender
Karya sastra merupakan pluapan spontan dari perasaan yang kuat dan tidak dipandang lagi sebagai refleksi tindak-tindak manusia. Selain itu merupakan cermin emosi yang dikumpulkan dalam keheningan mendalam, yang kemudian direbisi dalam penciptaan melalui pemikiran. Karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu melukiskan kehidupan sedetail mungkin (Edraswara, 2006:33-34).
Persoalan gender tak akan muncul apabila perbedaan-perbedaan gender berjalan selaras sehingga antara gender laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi dan menghargai. Persoalan muncul ketika ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam relasi gender telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Implikasi lebih luas dari ketimpangan gender adalah perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam mengambil setiap keputusan baik itu yang menyangkut dirinya sendiri maupun masyarakat.
Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
2.2. Sinopsis Novel Perempuan Jogja Karya Achmad Munif
   Ramadan adalah mahasiswa semester akhir di salah satu Universitas di Jogja, mengambil jurusan Hubungan Internasional yang juga bekerja sebagai wartawan di salah satu media masa di Jogja. Ramadhan adalah lelaki yang baik, cerdas, tahu banyak tentang sastra dan juga rendah hati. Ramadhan merupakan anak dari keluarga sederhana dan ia membayar uang kuliahnya menggunakan uangnya sendiri.
 Keluarga RM Sudarsono yang tinggal di pendopo Sudarsanan telah mengenal Ramadhan sejak lama, karena ia sering mewawancarai RM Sudarsono yang merupakan istri dari RA Niken dan ayah dari RM Danudirjo, suami dari Rumanti dan Indri Astuti tentang kebudayaan. Ramadhan sangat mengagumi Rumanti tetapi, kekagumannya itu hanya sebatas kagum karena Rumanti adalah perempuan yang cantik, baik, lemah lembut, penurut terhadap suaminya, tidak berani membantah apa yang dikatakan suaminya dan menyayangi suami serta kedua anaknya.
Rumanti menikah dengan Danu merupakan kehendak dari ayah dan ibunya, karena Danu mengalami stres dan hampir gila ditinggal kekasihnya menikah dengan orang lain. Namun setelah tujuh belas tahun menikah, mantan kekasihnya datang lagi menemui Danu karena diceraikan suaminya. Akhirnya Danu dan Norma menikah dengan persetujuan Rumanti dan dengan terpaksa Rumanti merelakan untuk dimadu, tetapi karena ingin menguasai harta Danu pernikahan itu berlangsung beberapa bulan saja, Norma dimasukan ke penjara setelah terbukti melalakukan percobaan bunuh diri terhadap Danu.
Ramadhan sempat mencintai teman satu kampus bernama Tyas, tetapi karena factor kekayaan yang berbeda jauh akhirnya dia tidak mengungkapkan isi hatinya. Ramadhan hanya menganggap Tyas sbagai teman perempuannya saja.
Suatu ketika, Ramadhan mulai tertarik dengan seorang perempuan yang dilihatnya di kampus. Ia melihat gadis itu lagi pada acara memperingati wafatnya penyair legendaris, Chairil Anwar. Dari saat itulah Ramadhan mulai dekat dengan gadis tersebut yang ternyata merupakan anak dari RM Sudarsono, Raden Indri Astuti. Kecantikan indri membuat Ramadhan jatuh cinta, kali ini dia berusaha dan berjuang mendapatkan cinta Indri meskipun dia bebeda jauh dengan Ramadhan yang jauh lebih miskin daripada Indri. Perjalanan kisah cinta mereka tidak begitu lancar, karena Danu telah menjodohkan Indri dengan temannya, Suwito.
Tetapi Danu tidak mengetahui bahwa Suwito adalah laki-laki tidak baik dan suka main perempuan sehingga Danu membatalkan perjodohannya. Ia mengetahui hal tersebut ketika Danu pulang dari rumah sakit akibat menjadi korban pembunuhan yang dilakukan Norma yang menginginkan uang dari suaminya. Akhirnya, Danu sadar bahwa Rumanti adalah istri yang paling baik. Danu akhirnya mneyetujui Ramadhan dan Indri berpacaran.
2.3. Kajian Aspek Penokohan Tokoh Wanita
          Prempuan Jogja berkisah tentang tiga perempuan yang mencoba untuk melepaskan diri dari belenggu keluarga dan lingkungan. Keteguhan tiga perempuan dengan latar belakang yang berbeda berhasil di uraikan A. Munif dengan jelas dan terperinci, bagaimana tiga perempuan dari Jogja tersebut menyelesaikan masalah dengan caranya masing-masing.
          Perlawanan Rumanti berbeda dengan dua perempuan lainnya. Rumanti seorang istri yang harus merelakan suaminya menikah lagi, meskipun pada awalnya perkawinan mwereka tanpa di dasari oleh rasa cinta. Rumanti menunjukkan perlawanandengan cara tidak melawan, dia hanya diam dan diam karena dia menyadari posisinya dari keluarga miskin dan telah diangkat derajatnya oleh suaminya yang merupakan seorang keturunan darah biru. Meskipun begitu Rumanti tetap yakin bahwa kebahagiaan dan keadilan akan tertuju padanya dengan sikap saling pengertian dalam perkawinan.
          Yang namanya cinta tak ada kata paksaan dan harta seperti itulah yang di rasakan R.A. Indri Astuti yang berdarah biru keturunan ningrat. Cintanya pada seorang wartawan budaya yang jauh dari gelar ningrat harus ia perjuangkan dengan melawan sang kakak yang bersikeras menjodohkannya dengan seorang konglomerat. Indri Astuti percaya cinta tak membutuhkan harta atau tahta yang penting adalah ketulusan.
          Terbelenggu dari kemiskinan, Itulah kehidupan yng harus di jalani Popi, perempuan muda yang masih duduk di bangku SMA. Ibunya selingkuh dengan laki-laki kaya karena tak tahan denagn kemiskinan yang telah bertahun-tahun menjerat keluarganya dan popi pun juga harus merasakan jatuh kedalam lembah hitam apalagi setelah penindasan dan pelecehan yang di lakukan pacarnya, membuat popi berontak melawan segala permasalahan di hidupnya, sampai akhirnya ai berhasil di selamatkan dan di angkat anak oleh keluarga ningrat.
2.4. Kajian Tokoh Lain yang Mempunyai Keterkaitan dengan Tokoh Perempuan
Dalam bagian ini akan mengkaji tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh perempuan. Pada kajian ini, tokoh laki-laki yang dikaji adalah tokoh Suwito yang mempunyai karakteristik sebagai tokoh yang dapat dikatakan tidak setia dan seorang laki-laki tidak baik yang sering mempermainkan perempuan. Pendukung pernyataan tersebut ada pada kutipan:
tangan Suwito memijat-mijat lutut Nita. Gadis itu sediki menggelinjing……… Padahal tidak hanya Nita yang pernah diajak Suwito ke Villa Kaliurang, tetapi juga Nora, Indah, Narmi, dan entah siapa lagi.” (Hlm.114)
Kutipan diatas menunjukan sikap moral Suwito yang tidak baik sering berganti perempuan yang diinginkannya. Selain mengkaji tokoh Suwito, makalah ini juga mengkaji tokoh RM Danudirjo dengan karakteristiknya yang memadu istrinya Rumanti.
          Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, lakon,  maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan pendekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
          Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagi orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kekuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh feminis.[1]
          Penulis menggambarkan tokoh Rumanti sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, setia, gemar, dan pandai mengatur rumah tangga serta mau berusaha keras membahagiakan suaminya seperti pada kutipan:
“ Maka Mbak tidak bisa berbuat lain kecuali menjaga kesetiaan sampai kapanpun.” (Hlm.27)
          Yang dilakukan oleh Rumanti hanya diam dan merestui dirinya dimadu oleh suaminya yang menikah dengan mantan kekasihnya. Jika dilihat dari Danu yang memiliki keterkaitan dengan tokoh Rumanti yang sedang diamati, tokoh Danu memang digambarkan seorang laki-laki yang masih mencintai mantan kekasihnya itu dan dia sempat mengalami stress atau gangguan kejiwaan akibat ditinggalkan oleh mantan kekasihnya itu hingga pada akhirnya dinikahi dengan Rumanti. Kesetiaannya tidak sama halnya dengan pengabdian dan kesetiaan Rumanti, digambarkan pada kutipan:
“ia lupa dengan kesetiaan dan pengabdian Rumanti yang telah menyembuhkan luka-luka dihatinya.” (Hlm.34)
2.5. Sikap Penulis Karya Sastra Perempuan Jogja “Achmad Munif”
A. Konteks Sosial Pengarang
Novel Perempuan Jogja merupakan Novel karangan Achmad Munif. Analisis mengenai bagaimana pengaruh cara pengarang memperoleh penghasilan yakni sebagai sastra terhadap Novel Perempuan Jogja menyangkut latar belakang sosial budaya dan pandangan hidup pengarangnya.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terkecuali pengarang, tidak dapat hidup tanpa kontak sosial. Achmad munif juga mempunyai sebuah hidup sendiri yang didalamnya terdapat lingkungan alam dan budaya yang sangat dihayati. Dalam novel ini Achmad Munif menggambarkan latar cerita dengan adat yang masih kental seperti pada kutipan:
“…….baginya budaya Timur tentu dalam hal ini budaya Nusantara tidak boleh dibiarkan mandeg apalagi tari Jawa.” (Hal.18)
“Rukmanti mengenakan pakaian tradisional Jawa dengan kain dan kebaya.” (Hal.216)
Kutipan diatas masih menjunjung adat istiadat masyarakat Jogja yaitu menjaga budaya Nusantara dan masih menjunjung adat istiadat masyarakat jogja yaitu mengenakan pakaian khas adat jawa yang masih menjadi tradisi.
Achmad Munif dalam Novel Perempuan Jogja berbicara secara spesifik tentang kehidupan Perempuan Jogja berbicara secara spesifik tentang kehidupan Perempuan Jogja. Dalam Novel Perempuan Jogja terdapat terdapat kutipan-kutipan yang menggambarkan masyarakat yang masih mengenal perjodohan, masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat, menggambarkan bahwa kekuasaan mengalahkan kemiskinan. Seperti pada kutipan:
“........Raden Mas Sudarsono tidak punya pilihan lain kecuali cepat-cepat menikahkan puterannya. Mereka memilih Rumanti karena dianggap memiliki potensi untuk mengabdi. Apalagi Rum sendiri memang cantik, bagai bunga mekar dirumput-rumput yang hijau. Bagi keluarga RM Sudarsono, lelaki seperti Danu membutuhkan seorang perempuan cantik, tapi penurut.” (Hlm. 10)
“…… saya tidak pernah menjodohkan Indri dengan Suwito. Sudah lama kita sadari, kini bukan jamannya menjodohkan anak. Semua itu keinginan Danu.” (Hlm.20)
Meskipun ada tokoh-tokoh dari luar yang dilahirkan, namun mereka malah digunakan untuk memperlihatkan pandangan masyarakat tentang kegiatan sehari-hari kehidupan Perempuan di Jogjakarta. Perempuan yang digambarkan adalah perempuan ynag sopan santun, tunduk pada peraturan suami, menghargai dan menghormati orang yang lebih tua, baik yang mengerti tentang tata karma. Hal tersebut dapat dilihat seperti pada tokoh Rukmanti yang penulis gambarkan pada Novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif.
Pada pengamatan sikap penulis karya yang sedang dikaji ini, praduga yang terjadi adalah Achmad Munif adalah penulis laki-laki yang menggambarkan tokoh perempuan dengan pengertiannya maka dengan sendirinya tokoh wanita yang ditampilkan sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Akan berbeda jika Achmad Munif adalah seorang perempuan, maka penggambarannya mungkin akan berbeda, dia akan menghadirkan tokohperempuan yang tegar, mandiri serta penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian bisa saja terjadi.
B. Biografi Pengarang
     Achmad Munif dilahirkan di Jawa Timur, Achmad Munif tumbuh dan dibesarkan dikeluarga yang sederhana, dari didikan orangtuannya yang diimbangi dengan kejujuran dan keuletan sehingga dia dapat melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai seorang wartawan.
Achmad Munif selama menjadi mahasiswa aktif sebagai penulis produktif. Selain itu juga memasuki dunia jurnalistik, juga pernah menjadi penulis sekenario sinetron. Hobinnya sebagai penulis membuahkan hasil sebagai penulis yang terkemuka yang mempunyai ciri khas kedaerahan.
Karirya dibidang seni dimulai dari seni tulis. Waktu luangnya selalu dihabiskan untuk menulis baik artikel, cerpen, dan novelnya yang pernah dimuat dibeberapa media masa. Ajaran orangtuanya sejak kecil dan kehidupannya yang penuh dengan nilai-nilai dan aturan yang disiplin.












BAB III
PENUTUP

3.1.   Simpulan
Persoalan gender muncul ketika ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam relasi gender telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Implikasi lebih luas dari ketimpangan gender adalah perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam mengambil setiap keputusan baik itu yang menyangkut dirinya sendiri maupun masyarakat.
Gambaran masyarakat pada Novel Perempuan Jogja merupakan hasil pengatan penulis atas segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat dilingkungan Yogyakarya. Dalam Novel Perempuan Jogja terdapat terdapat kutipan-kutipan yang menggambarkan masyarakat yang masih mengenal perjodohan, masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat.

3.2.  Saran
Saran kepada mahasiswa agar dapat lebih memahami isi dari makalah ini dan dijadikan informasi atau ilmu tambahan yang bermanfaat. Sedangkan kepada dosen pembimbing agar dapat mengulas kembali materi pada makalah ini, bahwasanya kami sebagai anggota kelompok sangat membutuhkan masukan dan pembelajaran.
Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widya Tama.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: PT. Dunia Pusaka Jaya.

Sumber Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/gender_sastra  artikel ini diakses pada 25 November 2013 pukul 22.01.



[1]               Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 51-52. 

PUISI PARIKESIT karya Goenawan Mohamad


Pariksit menunggu hari segera lewat
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.

I
Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing

Jauh di bawahku terpacak rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi
(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)

Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.

II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku.

Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

Barisan burung-burung yang kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kotaku yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hiup
bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
Telah lama.

Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?

III
Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.

Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.

Karena memang kutakutkan selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari

Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.

IV
Wahai, adakah dia? (Berdetak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)
Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
Dan tak kukenal wajahku kembali.

Di ruang ini, kunobatkan ketajutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.

V
Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.
Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah.
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.

TINDAK TUTUR



Tugas Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Nilai Mata Kuliah
Pragmatik
Dosen :







Disusun Oleh :
Ayu Safitria




FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PAMULANG
2013


Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Tanpa bantuan dari dosen dan teman-teman kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita, Amin.


           


Pamulang,  Oktober 2013






KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I      PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.............................................................................. 2
B.  Rumusan Masalah.......................................................................... 3
BAB II    PEMBAHASAN
1.    BiografiW.S.Rendra................................................................. 3
2.    PuisiW.S.Rendra....................................................................... 4
BAB III   PENUTUP
A.    Simpulan..................................................................................... 7
B.     Saran........................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 8





Bahasa merupakan suatu alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia, dan juga sebagai alat menyampaikan informasi kepada orang lain. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik dibandingkan dengan alat komunikasi yang berupa media, karena dengan penyampaian langsung kepada lawan tutur informasi yang disampaikan akan lebih mudah dipahami oleh si lawan tutur dibandingkan berkomunikasi secara tertulis.
Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam meghadapi situasi tertentu. Dalam peristiwa tutur lebih dilihat kepada tujuan peristiwanya, sedangkan dalam  tindak tutur lebih memperhatikan makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

dapun kekayaan makna yang terkandung dalam puisi disebabkan oleh pemadatan segala unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda yang digunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas, namun maknanya sangat kaya. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata konotatif yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.[1]
Tahun 1966 (masa peralihan tumpukan kekuasaan dari Soekarno (orde lama) ke Soeharto (orde baru), terjadi demonstrasi para pelajar dan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Lama. Perpuisian Indonesia pun didominasi oleh sajak demonstrasi atau sajak protes yang dibaca untuk mengobarkan semangat para pemuda dalam aksi demonstrasi awal tahun 1966. Salah satu penyair yang aktif menyuarakan puisi protesnya yaitu Rendra, dengan Balada Orang-orang Tercinta. Puisi-puisinya bertemakan sosial dan personal. Dalam puisinya, ia menyuarakan kritiknya tentang kondisi masyarakat Indonesia dan kalangan elite pada masa itu.[2]

1.2.   Rumusan Masalah
Fokus masalah dalam makalah ini, kami memberikan batasan masalah sehingga tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok bahasan. Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah:
1.      Bagaimana biografi W.S. Rendra?
2.      Apa saja karyanya yang mencerminkan zamannya?
3.      Bagaimana W.S. Rendra membawakan puisi-puisinya ?










[1]               E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Sastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), hlm. 97.
[2]               Hamzah Fansuri, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 112.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi W.S. Rendra
          Rendra atau Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.[1]
            Melalui berbagai puisi, cerpen dan drama untuk kegiatan sekolah pada masa SMP-nya, kemampuan dan bakat sastra Rendra mulai terasah. Puisinya terpublikasi di media massa untuk pertama kalinya melalui majalah Siasat. Sampai dua dekade kemudian secara rutin karya-karyanya menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi dan Siasat Baru. [2]    
Nama Rendra setelah memeluk Islam yaitu Wahyu Sulaiman Rendra, ia memeluk Islam pada 12  Agustus 1970. Seniman ini mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkahwinannya dengan Sitoresmi pada 12 Agustus 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastera Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Gelarnya sebagai “Si Burung Merak” bermula ketika Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Di kandang merak, Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki dua isteri, yaitu Ken Zuraida dan Sitoresmi.


2.2. Puisi Karya W.S. Rendra
Aku Tulis Pamplet Ini
Oleh : W.S. Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai  sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

Balada Orang-Orang Tercinta
Pengarang: WS. Rendra

Kita bergantian menghirup asam
Batuk dan lemas terceruk
Marah dan terbaret-baret
Cinta membuat kita bertahan dengan secuil redup harapan

Kita berjalan terseok-seok
Mengira lelah akan hilang di ujung terowongan yang terang
Namun cinta tidak membawa kita memahami satu sama lain

Kadang kita merasa beruntung
Namun harusnya kita merenung
Akankah kita sampai di altar
Dengan berlari terpatah-patah
Mengapa cinta tak mengajari kita Untuk berhenti berpura-pura?

Kita meleleh dan tergerus Serut-serut sinar matahari
Sementara kita sudah lupa rasanya mengalir bersama kehidupan
Melupakan hal-hal kecil yang dulu termaafkan

Mengapa kita saling menyembunyikan
Mengapa marah dengan keadaan?
Mengapa lari ketika sesuatu membengkak jika dibiarkan?
Kita percaya pada cinta
Yang borok dan tak sederhana
Kita tertangkap jatuh terperangkap
Dalam balada orang-orang tercinta.

   Kata orang-orang tercinta bermakna orang-orang tersisih seperti perampok, pembunuh, pelacur, perempuan kesepian, ibu yang rindu anaknya dan lain sebagainya.
   Karya Rendra yang biasa dibacakan ketika ada demonstrasi dan mimbar bebas itu pada 1980 diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, dalam buku kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Isinya menggambarkan situasi politik sejak 1973, tatkala Rendra masih di Yogyakarta, sampai 1978. Bahkan hingga pertengahan 1980-an sajak Rendra masih terasa menggedor-gedor semangat aktivis mahasiswa.
          Tidak hanya puisinya, olah vokal dan ekspresi gerak Rendra juga memberikan pengaruh kuat. Ia sendiri mengaku mengagumi gaya pidato Soekarno yang penuh sihir. Sejumlah penyair pada pertengahan 1980-an masih meniru-niru gerak dan olah vokal penyair kelahiran 7 November 1935 itu. Ciri khas Rendra itu dengan mudah dijumpai dalam acara mimbar bebas mahasiswa pada masa itu.
          Meski puisi Rendra pada masa awal kepenyairan berbeda bentuk dan gaya, Rendra tetap dikenal oleh mahasiswa untuk puisi pamfletnya. Seperti diutarakan A. Teeuw dalam kata pengantar buku Potret Pembangunan, yang menyebut Rendra sebagai pemberontak, seorang yang selalu sibuk melonggarkan kungkungan dan pembatasan. Tak heran jika Rendra sempat mencicipi jeruji tahanan pada masa itu. Maklum, rezim ketika itu memang antikritik.[3]






BAB III
PENUTUP

3.1.   Simpulan
Otak memegang peran yang sangat penting dalam bahasa, karena bahasa yang dikelurkan terjadi karena adanya saringan dari dalam otak dan melalui sistem bunyi yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi melalui percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun. Adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat.
3.2.  Saran

Saran kepada mahasiswa agar dapat lebih memahami isi dari makalah ini dan dijadikan informasi atau ilmu tambahan yang bermanfaat. Sedangkan kepada dosen pembimbing agar dapat mengulas kembali materi pada makalah ini, bahwasanya kami sebagai anggota kelompok sangat membutuhkan masukan dan pembelajaran.
Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca atau mahasiswa serta dosen pengampu kritik dan saran yang bersifat konstruktif dalam terselesainya makalah selanjutnya.







DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani dkk. 2003. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Fansuri, Hamzah. 2007. Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kosasih, E. 2012. Dasar-dasar Keterampilan Sastra. Bandung: Yrama Widya.
Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi untuk Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sumber Internet:

http://id.wikipedia.org/wiki/W._S._Rendra artikel ini diakses pada 16 Juni 2013 pukul 22.14.
http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/282-ensiklopedi/1849-ws-rendra artikel ini diakses pada 16 Juni 2013 pukul 22.20.



[3]               “100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri”, Tempo, No.1925/08, 19 Mei 2008, h. 121. “Potret Pembangkangan Rendra”.