Sandiwara
tiga babak
BABAK PERTAMA
Jam Westminter berdentang 10 kali
Dari jendela tampak bulan separuh
SEGALANYA HITAM DI PANGGUNG
ITU. LANTAI HITAM, LAYAR HITAM, SEGALANYA HITAM – BAHKAN JUGA MEJA DAN KURSI.
SEGALANYA MEMANG HITAM, TAPI DUA SOROT LAMPU PUTIH MASING-MASING MENERANGI
BAPAK DAN IBU. MEREKA SUDAH BERUSIA PARUH BAYA, SEKITAR 50 AN. BAPAK MENGENAKAN
KAOS OBLONG PUTIH DAN SARUNG. IBU MENGENAKAN KAIN DAN KEBAYA SUMATERA.
BAPAK BERSANDAL KULIT SILANG,
IBU BERSELOP TUTUP. BAPAK MENONTON TV. IBU MEMBACA BUKU. BAPAK MEMENCET REMOTE
KONTROL. BERDECAK-DECAK SEBAL, LANTAS MEMATIKANNYA. SUASANA SEPI.
MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU
MEREDUP. BAPAK MELAMUN. IBU MASIH MEMBACA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.
BAPAK
Bu….
IBU
Ya….
BAPAK
Baca buku apa sih?
IBU (Sambil membaca sampulnya)
Oh, ini buku baru: Cara Melawan Teror
BAPAK
Apa katanya?
IBU
Baru juga mulai baca. Belum tahu isinya. Habis
diajak ngomong terus sih!
BAPAK
Yah, di sampul belakang kana da kecapnya.
IBU (Melihat sampul belakang)
Apa ya katanya?
(Membaca)
Buku ini perlu dibaca penduduk Negara-negara
yang akan hancur, karena dalam masyarakat seperti itu kendali hukum sangat
mengendor, tatanan nilai kabur, sehingga melahirkan anarki. Setiap orang
berbuat seenak perutnya sendiri dan memaksakan kehendaknya dengan teror .
itulah gunanya buku ini: Cara Melawan Teror. Perlu dibaca oleh
mahasiswa, aktifis, wartawan, penasehat hukum dan berbagai profesi yang rawan
terror. Buku ini juga berguna bagi siapa saja yang merasa perlu lebih siap
melawan teror.
BAPAK
Untuk apa kamu baca itu?
IBU
Lho, bapak ini bagaimana sih?
BAPAK
Bagaimana apa?
IBU
Baru setahun kok sudah berusaha lupa.
BAPAK
Apa?
IBU
Keterlaluan
BAPAK
Ada hubungannya dengan buku itu?
IBU
Ya jelas dong!
BAPAK
Ca-ra-me-la-wan-te-ror. Apa yang kulupakan ya?
IBU
Pikir sendiri
BAPAK
Aku malah inget yang lain.
IBU
Apa?
BAPAK
Buku itu menyatakan seolah-olah Negara kita
sudah hancur.
IBU
Memang sudah hancur, bagaimana!
BAPAK
Begitu ya bu?
IBU
Wah, aku nggak mau jadi analis politik amatiran.
Bapak saja yang ngomong.
BAPAK
Aku juga sebetulnya tidak tahu apa-apa, bu!
IBU
Tapi yang satu itu tidak boleh lupa.
BAPAK
Apa?
IBU (Hanya melihat ke arah Bapak)
BAPAK
Tidak boleh lupa?
IBU
Tidak boleh.
BAPAK
Kalau lupa?
IBU
Kalau bapak lupa, artinya sengaja melupakannya.
Itu juga berarti bapak ikut berdosa.
BAPAK
Waduh, menyangkut dosa lagi! Gawat sekali
rupanya. Aku paling malas berdosa.
IBU
Paling malas berdosa!?
BAPAK
Iya.
IBU
Ah, yang bener….
BAPAK
Iya! Kamu tidak percaya?
IBU
Kayaknya bapak selalu lupa deh dengan dosa-dosa
bapak yang terbesar. Toh semua itu aku bisa maafkan. Tapi tidak untuk yang satu
ini.
BAPAK
Aneh. Aku bisa lupa dosa-dosaku. Tapi yang satu
ini tidak boleh lupa. Kalau lupa, itulah dosa yang terbesar.
IBU
Makanya, jangan berlagak pikun
BAPAK
Jadi, apa?
IBU
Lho!
BAPAK
Aduh! Manusia itu kan pelupa Bu! Masa aku tidak
boleh lupa!?
IBU
Yah, manusia pelupa, manusia cepat lupa, apalagi
yang menyangkut dosa.
BAPAK
Gawat-gawat sekali. Apa yang kulupakan selama
ini?
IBU
Oalah pak, pak. Kita memang tidak pernah
membicarakannya selama ini. Tapi itu tidak berarti kita boleh melupakannya.
BAPAK
Wah, apa ya? Kamu bilang tadi, ada hubungannya
dengan cara melawan teror
IBU
Sebetulnya bapak inget.
BAPAK
Tidak. Aku sungguh-sungguh lupa.
IBU
Gawat.
BAPAK
Apa ya? Kenapa begitu gawat?
IBU
Karena melupakannya adalah dosa besar.
BAPAK
Kita harus mengingatnya?
IBU
Ya.
BAPAK
Kita harus membicarakannya?
IBU
Ya. Kalau perlu sengaja memperingatinya.
BAPAK
Tidak mikul dhuwur mendem jero? Melupakan yang
buruk mengingat yang baik?
IBU
Nggak usah!
BAPAK
Waduh! Gawat!
IBU
Kenapa?
BAPAK
Aku tidak ingat
IBU
Jadi, semuanya ini ada hubungannya dengan
terror!
BAPAK
Terror!
IBU
Ya! Terror!
BAPAK
Te-ror….
IBU
Ya. Te-ror….
BAPAK
Te-ror-te-ror-te-ror….hmmm….
IBU (Melihat dengan wajah kesal)
BAPAK
Aku belum ingat apa yang ada hubungannya dengan
kita. Tapi kalau mendengar kata itu, aku jadi ingat apa yang terjadi pada zaman
geger-gegeran dulu itu.
IBU
Itu juga belum lama.
BAPAK
Tapi semua orang sudah lupa.
IBU
Pura-pura lupa.
BAPAK
Buku sejarah saja tidak mencatatnya.
IBU
Itu dia. Dosa orang lain dicatat besar-besaran.
Dosa sendiri menguap entah kemana.
BAPAK
Hmmm. Rumit ya Bu?
IBU (Berdiri, berjalan ke jendela)
Sebetulnya tidak. Semuanya jelas. Siapa yang
bisa melupakannya? Aku masih kecil waktu itu. Malam-malam semua orang
berkumpul. Mereka membawa golok, clurit, pentungan dan entah apa lagi. Mereka
mengepung rumah itu selepas tengah malam. Mereka berteriak-teriak, karena yang
dicarinya naik ke atas genteng. Orang itu lari dari atap satu kea tap lainnya
seperti musang. Kadang-kadang dia jatuh, merosot. Orang-orang mengejarnya juga
seperti nengejar musang. Aku masih inget suara gedebugan di atas genteng itu.
Orang-orang mengejar dari gang ke gang, suaranya juga gedebukan. Mereka
berteriak-teriak sambil mengacungkan parang. Orang itu lari. Terpeleset, hamper
jatuh ke bawah, merayap lagi. Sampai semua tempat terkepung. Orang itu terkurung….
BAPAK
Sudahlah bu! Sudah lebih dari tiga puluh tahun.
IBU
Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian
yang dialami orang itu, tapi apa yang dialami keluarganya. Dia punya anak,
punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar seperti musang. Melihat
dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng ketika
terpeleset dan tidak ada lagi yang bisa dipegang. Orang-orang di bawah
menunggunya dengan parang.
BAPAK
Bu!
IBU
Orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi
seekor musang. Orang itu digorok seperti binatang. Ibu menutupi mataku. Tapi
aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang ketakutan. Aku masih ingat sinar
mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan hati riang. Kok bisa? Kok
bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya mendengar jeritan bapaknya?
Bagaimana perasaan istri mendengar jeritan suaminya? Bagaimana perasaan ibu
mendengar jeritan anaknya? Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih
mereka bisa melupakannya? Mereka mungkin ingin lupa. Tapi apa bisa? Politik itu
apa sih, kok pakai menyembelih orang segala?
BAPAK
Untuk apa kamu mengingat-ingat ini semua?
IBU
Itulah pertanyaanku juga. Untuk apa? Tapi aku
tidak sengaja mengingat-ingat. Aku ingat begitu saja. Kenangan itu menempel
seperti lintah. Dia lewat seperti kenangan.
BAPAK
Kenangan buruk.
IBU
Mimpi buruk
BAPAK
Sejarah
IBU
Itulah dia pak. Sejarah. Sejarah itu ada. Hidup
terus sampai hari ini.
BAPAK
Waktu
IBU
Waktu itu aku tidak tahu kalau sekolah libur.
Aku berangkat ke sekolah. Ketika sampai di kelas, aku Cuma mencium bau amis
darah. Darah orang-orang yang disiksa menyiprat di tembok, papan tulis dan
bangku-bangku. Di mana-mana orang bergerombol, berteriak-teriak, mencari
orang-orang yang diburu.
BAPAK
Wak-tu
IBU
Begitu buruk. Begitu mengerikan. Tapi mengapa
kita sekarang mengulanginya?
BAPAK
Satria!
IBU
Itulah. Bapak ini belum begitu tua kok sudah
berusaha pikun. Tidak baik begitu pak. Kalau kita melupakan kekejaman, kita
akan mengulanginya.
BAPAK
Aku Cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh
ketika semua itu menimpa kita. Orang yang malang malah dijauhi. Ada yang
bilang. “Sorri aku baru menelpon sekarang, ini pun dari telepon umum, karena
aku takut teleponku disadap, aku harap semuanya baik-baik saja. Sorry, aku
takut, aku punya anak kecil soalnya” hmmmh. Saudara-saudara menjauhi semuanya.
Takut, seperti kita ini punya penyakit sampar.
IBU
Habis begitu memang begitu caranya menilai.
Pikiran kok dianggap menyatu dengan darah.
BAPAK
Cara berpikir apa itu ya?
IBU
Cara berpikir orang bego!
BAPAK
Bego tapi berkuasa.
IBU
Begitu berkuasanya sehingga merasa berhak
menguasai pikiran, dan sangat tersinggung kalau orang berpikir lain.
BAPAK
Sangat tersinggung.
IBU
Sangat tersinggung. Maka mengamuklah dengan
pentungan, penangkapan, penculikan dan penganiayaan.
BAPAK
Kekuasaan yang kerdil.
IBU
Kerdil.
BAPAK
Kerdil.
TELEPON BERDERING. BAPAK MENGANGKAT TELEPON
BAPAK
Hallo! Ya? Salah! Salah sambung! Ini Cikini,
bukan Jurang Mangu. Tidak apa-apa. Selamat malam.
IBU
Terror lagi?
BAPAK
Bukan. Memang salah sambung.
IBU
Dulu Satria sering diteror lewat telepon
BAPAK
Ya, aku tahu. Aku juga sering diteror, dikira
Satria.
IBU (setelah jeda)
Ah, Satria. Satria….
LAMPU MEREDUP
BABAK KEDUA
Jam Westminter berdentang 11 kali
Dari jendela tampak bulan sabit
IBU
Mbok!
BAPAK
Dulu itu namanya pencidukan
IBU
Mbok!
BAPAK
Rumah-rumah disatroni, penghuninya diambil,
lantas dibawa entah kemana. Biasanya sih mereka tidak pernah kembali.
IBU
Mbok!
BAPAK
Diciduk! Itu istilahnya. Diciduk.
IBU
Mboook!
BAPAK
Nah, sekarang aku sudah ingat, tapi rupanya kamu
yang jadi pelupa bu, memanggil si mbok dari tadi. Si mbok itu kan tiap malam
jum;at kliwon pergi ke kali, membakar kemenyan.
IBU (Menampar jidatnya sendiri)
Ah iya, aku yang lupa sekarang.
BAPAK
Padahal kamu dulu yang cerita
IBU
Cerita apa?
BAPAK
Masih lupa? Kata kamu, si mbok itu waktu masih
muda sebenarnya pemain ludruk.
IBU (Melanjutkan)
Ketika semua pemain ludruk dibantai, tinggal dia
sendirian yang tersisa.
BAPAK
Waktu kamu masih kecil, dia bisa bercerita.
Waktu kamu sudah besar, dia tidak bisa bercerita apa-apa lagi.
IBU
Iya, selalu mengaku lupa dan hanya bisa pergi ke
kali itu setiap malam jum;at kliwon.
BAPAK
Di kali itulah, yang suatu ketika bisa
betul-betul merah karena darah, mayat-mayat mengalir seperti sampah. Di kali
itulah mayat teman-temannya pemain ludruk mengapung.
IBU
Iya. Kok napak bisa ingat dan aku tidak?
BAPAK
Penduduk pinggir kali, kere-kere itu, menunggu
mayat-mayat yang lewat. Mereka menggaet mayatmayat dengan bamboo yang diberi
pengait di ujungnya. Mereka geret mayat-mayat itu ke tepian, lantas mereka
jarah.
IBU
Bapak ingat semuanya. Padahal itu ceritaku.
BAPAK
Penduduk mengambil arloji, ikat pinggang, cincin
dan akhirnya menjebol gigi emas dari mayat-mayat itu.
IBU
Kenapa aku bisa lupa?
BAPAK
Barangkali kamu yang ingin melupakannya.
IBU
Aku tidak pernah ingin melupakannya.
BAPAK
Barangkali. Tapi bawah sadarmu ingin
melupakannya. Mestinya kamu kan paling tidak bisa lupa soal kliwon-kliwonannya
si mbok itu. Cuma, kalau dulu ia pergi ke akli Madiun, sekarang ke kali
Ciliwung. Hmmm, lupa. Ingat. Lupa. Ingat. Kenangan siapa yang paling shahih
jadi sejarah kita? Dering telepon di malam hari bisa punya makna yang mengerikan.
MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU MEREDUP, MUSIK BLUES
FADE OUT. LAMPU TERANG KEMBALI. BAPAK BERDIRI DARI KURSINYA BERJALAN-JALAN.
BAPAK
Ide! Ide! Gagasan! Coba bu, darimana datangnya
gagasan itu!?
IBU
Gagasan yang jahat
BAPAK
Aku mencoba membayangkannya bu. Sejumlah orang
ebrkumpul di sekeliling meja di sebuah ruangan ber AC. Mereka mempunyai daftar
nama. Mereka membicarakan….
IBU
Nanti dulu pak! Apa Cuma segitu bayangan bapak?
BAPAK
Cuma segitu?
IBU
Bapak sudah membayangkan sejumlah orang
berkumpul di ruangan ber AC. Apa Cuma itu?
BAPAK
Maksudnya?
IBU
Bagaimana kek tampang mereka. Bagaimana kondisi
ruangannya, terdengar apa saja, minum apa mereka di situ, pakai seragam atau
tidak? Yang rinci dong!
BAPAK
Hmmmm. Rinci, ya? rinci.
IBU
Iya. Namanya juga mengingat-ingat.
BAPAK
Yang pasti tubuh mereka kekar-kekar. Ruangannya
putih bersih.
IBU
Ada gambar gak di situ?
BAPAK
Kalau lukisan tidak ada. Selera mereka kan
payah-payah. Tapi ada gambar Presiden dan wakil presiden.
IBU
Bapak bilang ruangan ber AC. Berdengung atau
tidak AC nya?
BAPAK
AC nya bagus. Tidak berdengung. Sesejuk hawa
pegunungan.
IBU
Mereka berkumpul begitu, karena mau rapat?
BAPAK
Pasti membicarakan sesuatu! Memangnya mau
arisan!?
IBU
Bapak ini kok darah tinggi sih! Maksudku, mereka
minum apa? Teh atau kopi?
BAPAK
Orang-orang begitu ya biasanya kopi!
IBU
Gelas atau cangkir?
BAPAK
Kok ada gelas atau cangkir?
IBU
Ya kan cangkir untuk atasan dan gelas untuk
bawahan!
BAPAK
Memangnya ada atasan da nada bawahan?
IBU
Ya, ada pimpinannya lah, ada yang menugaskan,
ada yang ditugaskan.
BAPAK
Tempat minumnya lain-lain?
IBU
Memangnya tempat minum jenderal sama dengan
tempat minum kroco-kroco?
BAPAK
Aku tidak bisa membayangkan gelasnya bu! Kamu
terlalu rinci!
IBU
Memang harus rinci. Di luar ruangan, terdengar
suara helicopter datang dan pergi atau tidak?
BAPAK (Menirukan suara helicopter)
Dud-dud-dud-dud-dud-dud-dud. Suara helicopter.
Kalau ada masuk akal juga!
IBU
Artinya mereka berseragam dong!
BAPAK
Berseragam! Seragam robot!
IBU
Nah, sekarang bapak bisa mulai. Mereka mempunyai
daftar nama tadi bapak bilang?
BAPAK
Mereka mempunyai daftar nama. Mereka
menganalisis nama itu satu persatu. Barangkali dari setiap nama, mereka sudah
mempunyai data yang lengkap. Nama, tanggal lahir, siapa orang tuanya, apa
kegiatannya, organisasi apa yang dipimpinannya.
IBU
Wah, kerja intel itu.
BAPAK
Tapi bukan sembarang intel. Kalau intel biasa
kan Cuma menyelidiki, mencatat dan melaporkan.
IBU
Kalau ini?
BAPAK
Menculik!
IBU
Kok bisa!?
BAPAK
Itu dia yang kutanyakan tadi. Ide! Ide! Gagasan!
Darimana datangnya gagasan untuk menculik itu!
IBU
Mereka mempunyai daftar nama bapak bilang!?
BAPAK
Mereka mempunyai daftar nama dan menganalisisnya
satu persatu!
IBU
Lantas memutuskan untuk menculiknya!
BAPAK
Lantas memutuskan untuk menculiknya!
IBU
Kenapa begitu?
BAPAK
Tergantung analisisnya
IBU
Bapak bisa membayangkan analisisnya?
BAPAK
Kita lihat saja nanti. Mereka membicarakan
nama-nama itu satu persatu. Dari setiap nama ditentukan, apakah dia berbahaya
atau tidak.
IBU
Atas dasar apa?
BAPAK
Berbahaya bagi Negara atau tidak
IBU
Apa yang dimaksud berbahaya untuk Negara?
BAPAK
Kritis. Kritis itu berbahaya bagi Negara.
IBU
Lho, kritis itu berguna untuk Negara.
BAPAK
Jangan bilang sama aku, bilang sama mereka.
IBU
Apa punya kuping mereka itu?
BAPAK
Punya sih punya. Tapi kuping itu kalau tidak
budge, pasti terlalu cepat panas.
IBU
Yang namanya kritis itu, di zaman apapun, di
Negara manapun selalu berguna. Kenapa dianggap berbahaya?
BAPAK
Pada dasarnya sikap kritis memang berguna untuk
Negara, tapi yang menganggap berbahaya ini sebetulnya bukan Negara, melainkan
orang-orang yang me-ra-sa di-ri-nya adalah Negara!
IBU
Mati aku!
BAPAK
Mati. Ya, mati. Di negeri ini ada orang-orang
yang merasa berhak memutuskan mati hidupnya orang lain.
IBU
Maka mereka menculiknya.
BAPAK
Yah, merasa berhak menculiknya.
IBU
Mempunyai hak untuk menculik
BAPAK
Hak culik. Itu namanya. Hak culik.
IBU (Setelah jeda, meletakkan buku, berjalan ke jendela)
Waktu aku kecil, pembantu di rumah selalu
bilang. Jangan keluar rumah kalau sudah gelap. “ada culik” katanya. “Awas ada
culik den” katanya selalu. Aku selalu membayangkan yang disebut culik itu
sebagai mahluk yang besar bertubuh hitam yang muncul dari kegelapan. Dengan
mudahnya ia menenteng kita, menjepit kita diketiaknya. Katanya kita akan dibawa
ke semak-semak, ke gerumbul pohon pisang. Di sana kita akan mengira diberi
makan bakmi, padahal yang kita makan adalah cacing.
BAPAK
Cacing sih protein bu!
IBU
Setelah besar aku persetankan semua itu. Eh, kok
ternyata culik itu ada.
BAPAK
Yang kamu ceritakan tadi genderuwo, yang kita
bicarakan ini manusia.
IBU
Manusia yang menculik.
BAPAK
Manusia yang menculik manusia.
IBU
Jadi bagaimana mereka menganalisisnya tadi pak?
BAPAK (Membayangkan ada di salah satu sudut meja)
Ini ada meja. Yang di sini berkata: “Tidak usah
diragukan lagi, orang ini sangat berbahaya. Dia terlalu pintar bicara. Persis
seperti tukang obat. Tapi dia tidak menjual obat. Dia menjual ideology. Sangat
berbahaya. Dia pandai menggalang massa. Dialah yang membagi-bagikan tugas.
Siapa bikin demonstrasi. Siapa bikin selebaran. Semua orang percaya padanya.
Termasuk para pemberi dana. Orang seperti ini yang harus diambil. Bukan yang
teriak-teriak pakai corong.” Lantas….
(Bapak berjalan seolah-olah ke sudut meja lain)
Orang lain berkata: “Kalau begitu kita ambil
dia. Bagaimana?”
(Berjalan ke sudut lain)
Orang lain lagi berkata: “Ambil.”
IBU
“Ambil” begitu kata mereka?
BAPAK
Barangkali juga “Angkat”
IBU
Sok tahu mereka itu.
BAPAK
Memang mereka sok tahu.
(Ke sudut lain lagi)
Yang lain berkata:” Kalau tidak kita ambil
sekarang, lama-lama dia bisa menjadi racun. Orang-orang melecehkan Negara”
IBU
Maksud dia penguasa?
BAPAK
Pokoknya dia bilang negara
IBU
Negara itu apa sih sebenarnya? Bentuknya tidak
pernah jelas.
BAPAK
Yang jelas bentuknya ya penguasa-penguasa itu.
IBU
Penculik sebenarnya?
BAPAK
Penculik itu yang menyuruh ya penguasa.
IBU
Kok tahu?
BAPAK
Yang di sini bilang: “sebetulnya apa urusan kita
dengan dia? Kita kan tahu apa yang dikatakannya semua benar. Memang ada
korupsi, memang ada kecurangan dalam pemilu. Memang ada terror dan intimidasi.
Republik ini sudah hamper ambruk.”
(Pergi ke sudut lain)
Yang di sini menyahut: “kamu membela mereka? Apa
kamu mau membangkang?”
(Pergi ke meja lain)
“Dia bukan mau membangkang terhadap tugas, dia
mengatakan apa yang dipikirkannya.”
(pergi ke sudut yang bertanya)
“Jangan berpikir di sini, laksanakan saja tugas
kita dengan baik.”
(Pergi ke meja pembangkang)
Tapi mereka Cuma anak-anak.
(Ke meja lain)
“Ya, anak-anak yang berbahaya.”
(Ke meja pembangkang)
“Tapi apa hak kita untuk menculik, merampas
kemerdekaan mereka?”
(Balik ke meja penanya)
“ Pertama, mereka berbahaya untuk Negara, kedua
kalau pun kamu tidak setuju, ini adalah tugas.” Ini dijawab lagi. “Tugas pun
boleh ditolak kalau keliru.” Lantas ditantang “Tolak saja kalau berani!”
Dijawab lagi “Aku menolak!”
BAPAK TERDIAM
IBU
Lantas?
BAPAK
Orang yang menolak tugas ini mati.
IBU (menghela napas)
Itu cerita yang terlalu bagus.
BAPAK
Kenapa?
IBU
Karena terlalu heroik
BAPAK
Mestinya?
IBU
Mereka semua penculik. Mereka semua setuju untuk
menculik. Mereka merencanakan penculikan dengan cermat dan dingin.
BAPAK
Yah, itu lebih gampang membayangkan.
IBU
Gampang?
BAPAK
Semuanya setuju untuk menculik kan?
IBU
Yah, semuanya setuju.
BAPAK
Jadi semuanya setuju untuk menculik, setidaknya
karena ini adalah tugas.
IBU
Tugas! Tugas! Mereka memang kejam dan tidak
punya perasaan.
BAPAK
Sudahlah.
IBU
Apa itu “sudahlah!” tidak ada sudahlah! Kita
harus menggugat.
BAPAK
Aduh. Ibu ini galak amat! Tadi katanya mau
membayangkan.
IBU
Sakit membayangkannya. Cuma menimbulkan dendam.
BAPAK
Cobalah membayangkan tanpa dendam. Kita harus lebih manusiawi dari
mereka.
IBU
Baik. Jadi mereka merencanakan penculikan?
BAPAK (bercerita dengan gerak)
Mereka merencanakan penculikan. Menentukan saat
untuk mengambil. Mereka mengincar. Saat mana tidak ada orang. Supaya tidak ada
saksi.
IBU
Heran. Darimana datangnya gagasan itu?
BAPAK
Mereka mendorongnya masuk mobil. Dibawa
berputar-putar dengan mata tertutup.
IBU
Apakah hal-hal semacam itu dipelajari?
BAPAK
Tentunya! Dipelajari dengan sistematis!
IBU
Pelajaran tentang cara-cara menculik, begitu?
BAPAK
Pasti ada namanya yang keren. Tapi isinya sama:
menculik!
IBU
Hebat sekali. Menculik diberi nama lain.
BAPAK
Namanya juga pembenaran.
IBU
Pembenaran. Hebat sekali kata satu ini.
BAPAK
Semua orang hidup dengan pembenarannya
masing-masing.
IBU
Itu tidak berarti boleh menculik orang lain dong
BAPAK
Menculik setelah merencanakan baik-baik dengan
matang.
IBU
Matang dan terencana
BAPAK
Apakah mereka tidak bisa membedakan, bahwa tugas
Negara pun bisa ditolak kalau nggak bener? Dibuat dari apa hati nurani
orang-orang ini?
IBU
Yang menugaskan itu lho pak.
BAPAK
Kenapa yang menugaskan?
IBU
Dida itulah yang lebih harus dipertanyakan lagi.
Terbuat dari apa hati nuraninya, sampai tega-teganya menculik lewat tangan anak
buahnya.
BAPAK
Masalahnya apa iya anak buahnya itu terpaksa?
IBU
Maksud bapak, mereka menculik dengan senang
hati?
BAPAK
Yah, kalau hati nurani menolak, ya
menolaklah mereka.
IBU
Kita semua sudah terlatih tidak menggunakan hati
nurani.
BAPAK
Kita?
IBU
Memangnya siapa yang suka menjarah rame-rame,
membakar rame-rame, memperkosa rame-rame, menyembelih rame-rame. Siapa?
BAPAK
Itu kan tidak setiap hari.
IBU
Bapak ini pikirannya bagaimana sih? Apa
maksudnya kita boleh sekali-sekali menjarah!?
BAPAK
Bu, itu semua terjadi kan karena ada yang menggosok-gosok!
IBU (Setelah jeda)
Hati nurani. Hati nurani. Ke mana kamu?
BAPAK
Zaman sudah edan seperti ini. Hati nurani kamu
tanyakan!
IBU
Jadi bapak sudah ingat sekarang?
BAPAK
Gila! Mereka menculik anak kita! Bagaimana aku
bisa lupa?
LAMPU MEREDUP
BABAK KETIGA
Jam Westminter berdentang 12 kali
Di jendela, bulan itu menghilang
IBU
Sudah jam dua belas Pak, tidurlah.
BAPAK
Kenapa bukan kamu saja yang tidur?
IBU
Bapak tahu aku selalu susah tidur.
BAPAK
Aku juga.
IBU
Bagaimana bisa tidur kalau selalu teringat
Satria!
BAPAK
Orang terakhir yang melihat dia bilang, waktu
itu dia pakai kaos oblong.
IBU
Iya, itu kaos Hard Rock Café yang dikirim Yanti
dari New York.
BAPAK
Aktivis kok kaosnya Hard Rock Café.
IBU
Ya biarlah, namanya juga anak muda. Apa dia
harus pakai kaos anti Orde Baru setiap hari. Kan ya ganti-ganti.
BAPAK
Di mana Satria sekarang ya? Semua orang sudah
kembali, dan orang-orang yang kembali itu mendengar suara Satria juga.
IBU
Empat belas orang yang belum kembali
BAPAK
Ada yang anak tunggal malah….
IBU
Maksudnya apa, Pak?
BAPAK
Ya kan kasihan, anak Cuma satu kok diculik,
barangkali dibunuh pula.
IBU
Sebentar, pak. Sebentar. Maksud bapak, kalau
anaknya tiga seperti kita, kehilangan satu anak tidak terlalu apa-apa, begitu?
BAPAK
Bukan.
IBU
Apa bapak berpikir, aku bisa bilang tidak
apa-apa kehilangan satu, toh masih ada dua anak lain?
BAPAK
Ya, tidak.
IBU
Jadi, untuk apa ngomong soal anak tunggal, pakai
‘malah’ lagi!
BAPAK
Maksudku, kamu itu tidak usah merasa paling
menderita di dunia ini.
IBU
Apa aku bilang begitu?
BAPAK
Ya tidak. Sudahlah jangan marah
IBU
Makanya hati-hati kalau ngomong. Tidak setiap
hari perempuan bisa sabar.
BAPAK
Ya, ya, ya. Sorry.
(Setelah jeda)
Mereka itu masih hidup atau sudah mati ya?
IBU
Kalau masih hidup, kenapa tidak dikembalikan
BAPAK
Jangan-jangan dibunuh.
IBU
Untuk apa Satria dibunuh, untuk apa? Dia tidak
melakukan kejahatan apa-apa. Dia tidak bisa memimpin pemberontakan. Anak
sekurus itu.
BAPAK
Kurus dan sakit-sakitan. Tapi pikirannya tajam.
IBU
Kenapa ada orang begitu takut pada pikiran,
sampai-sampai harus menculik dan membunuh pemilik pikiran itu.
BAPAK
Pikiran yang bebas sejak dahulu selalu dianggap
berbahaya oleh Negara.
IBU
Negara goblok.
BAPAK
Apa kamu masih mengharapkan Satria hidup, Bu?
IBU (Berdiri, berjalan)
Kamu pikir bagaimana pak? Setiap kali aku
memasuki kamar anak bungsu kita itu, aku selalu merasa dia masih akan pulang.
Melihat tempat tidurnya, kaset dan CD nya, gitar, tustel, celana dan kaos
oblong bergelantungan. Foto pacarnya….(Ibu
menangis)
BAPAK
Tabahlah bu. Tabah.
IBU (berhenti menangis)
Apa aku tidak seperti orang tabah?
BAPAK
Ya. kamu tabah. Kamu lebih tabah dari aku.
IBU
Kalau satria bisa bertahan, kenapa aku ibunya
tidak? Tapi aku merasa seolah-olah ia masih berada di sini. Aku masih selalu
menyiapkan sarapannya setiap hari, siapa tahu dia pulang. Kamu tahu pak, dia
selalu sarapan roti, pakai telur isi ceplok setengah matang dilapisi beef bacon
yang kalau dia iris lantas kuningnya meleler memenuhi piringnya. Lantas ia sapu
dengan rotinya itu. Minum kopi susu. Hamper tidak pernah bosan ia dengan telur.
Tapi tidak pernah ia jerawatan pak. Tahun belakangan ia sering tidak pulang,
tapi paling lama juga dua- tiga hari, itu pun selalu menelpon ke rumah. Sibuk
rapat katanya. Atau demo ini-itu. Aku selalu menyediakan vitamin karena
tubuhnya kurus begitu. Tapi semangatnya itu pak, kalau sudah ngomong, waduh,
matanya berapi-api. Aku tahu dia bisa bertahan dalam penderitaan.
BAPAK
Yah, dia akan tahan.
IBU (Menangis lagi)
Satria, kalau sakit sedikit saja manjanya bukan
main.
BAPAK
Orang-orang yang sudah dilepas itu bercerita
IBU (Mencoba berhenti menangis)
Satria pasti tahan.
BAPAK
Mereka bertanya sambil mengemplang. Bertanya
sambil menyetrum. Mereka menginginkan jawaban seperti yang mereka kehendaki.
Interogasi kok seperti itu. Maksa! Dan satria itu orangnya ngeyelan. Mana mau
dia ngaku meski disakiti.
IBU
Sebaiknya dia ngaku supaya dilepas.
BAPAK
Apa yang mau diakuinya? Dia tidak bisa mengakui
hal-hal yang tidak pernah dilakukan selanjutnya. Kita kan tahu Satria itu
ngeyelan. Jangan-jangan dia nantang minta disetrum lagi.
IBU
Keras kepala! Seperti kamu pak!
BAPAK
Apa kamu tidak keras kepala? Siapa dulu yang
mogok makan?
IBU
Yah, kan itu masih muda.
BAPAK
Waktu sudah tua juga! Siapa yang bawa poster di
depan kantor menteri wanita?
IBU
Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok
menterinya dia saja.
BAPAK
Nah kan!
IBU
Aku sampai sengaja menyetrum diriku, ingin ikut
merasakan penderitaan Satria. Aduh, Satria, Satria, Satria seperti apa dia
sekarang?
BAPAK
Kamu harus siap dengan penderitaan. Orang-orang
yang dilepaskan bercerita bagaimana mereka bukan Cuma ditanyai sambil dikemplang,
ditanyai sambil diestrum. Belum bener juga lantas kepalanya dimasukkan ke air
sampai mereka megap-megap. Rata-rata pengalamannya hampir sama.
IBU
Disundut rokok juga katanya. Apa sih maksudnya?
BAPAK
Supaya tersiksa.
IBU
Kalau sudah tersiksa?
BAPAK
Mereka menderita.
IBU
Kalau sudah menderita?
BAPAK
Diperhitungkan mereka akan mengakui perbuatan
yang tidak pernah mereka lakukan.
IBU
Itu semua direncanakan? Dirapatkan? Disetujui?
Lantas diputuskan untuk dilaksanakan?
BAPAK
Apanya?
IBU
Penyiksaan itu dong!
BAPAK
Memangnya alamiah?
IBU
Jadi mereka dengan sengaja dan sadar menyiksa.
Untuk apa? Kok caranya begitu?
BAPAK
Itulah. Namanya juga maksa!
IBU
Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan.
Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di
atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan?
BAPAK
Aku juga tak habis pikir. Mereka sengaja beli
balok es. Beli! Beli dimana mereka?
IBU
Beli? Mungkin bikin sendiri!
BAPAK
Bikin? Hahaha! Orang-orang tidak jegos! Pasti
beli! “Saya mau beli balok es yang cukup untuk tidur orang dewasa.” Katanya.
IBU
Kukira tidak beli. Minta.
BAPAK
Pasti tidak minta. Ngambil.
IBU
Berpikir tentang balok es untuk membuat para
aktifis kedinginan, supaya bisa dipanaskan dengan tempeleng. Cara mana sih itu?
BAPAK
Itu yang disebut kekejaman. Kebiadaban.
IBU
Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang
setidak-tidaknya pernah mengenalkan kasih saying, kelembutan, cinta.
setidak-tidaknya orang-orang itu kan bisa berpikir ada keluarga yang
kehilangan, ibu yang mencari….
BAPAK
Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan dari
seorang ibu?
IBU
Apa mereka lahir dari batu?
BAPAK
Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.
MUSIK BLUES FADE IN. LAMPU
REDUP. BAPAK BERJALAN KE JENDELA. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU TERANG.
BAPAK
Bu, coba lihat, rembulan itu lenyap. Kalau tidak
salah, tadi waktu jam sepuluh bulan itu masih separuh. Jam sebelas tinggal
bulan sabit. Sekarang lenyap sama sekali. Apa ada gerhana?
IBU (Berjalan ke jendela)
Gerhana bulan kan tidak berjam-jam. Kalau
gerhana pasti sudah muncul lagi
BAPAK
Kalau tidak muncul lagi, apa namanya dong?
IBU (sambil pergi)
Namanya gerhana selamanya
BAPAK (Berbalik dari jendela)
Hehehehee…bisa saja kamu bu!
IBU
Pak! Satria itu pernah menanyakan hal yang sama
lho waktu masih kecil. Dia bertanya, kalau bulan tidak pernah muncul lagi
bagaimana?
BAPAK
Kamu jawab apa?
IBU
Aku bilang bulan pasti muncul lagi. Tapi
kalaupun tidak muncul lagi kenapa harus kehilangan?
BAPAK
Kenapa?
IBU
Karena kita masih bisa mengharapkan rembulan itu
akan muncul. Rembulan itu akan selalu ada untuk kita. Kelihatan atau tidak
kelihatan, karena dia pernah ada.
BAPAK
Seperti apa sih Satria setelah besar?
IBU
Oh, ini bapak yang gak kenal anaknya ya!?
BAPAK
Dia kan lebih dekat sama kamu bu!
IBU
Yah, anak itu, sudah segede itu masih suka
cerita sambil tidur dipangkuanku.
BAPAK
Anak mami!
IBU
Memang anak mami! Cerita macam-macam hal sambil
tiduran. Impian-impiannya, harapan-hrapannya, kekecewaannya, kepahitannya. Dia
memang peduli sekali dengan politik. Aku sendiri nggak suka ngerti omongannya.
Aku pernah bilang, hati-hati dengan politik. Kubilang “kamu datang dengan
pikiran-pikiran hebat, tapi orang bisa menyambut kamu dengan pikiran ingin
menyembelih. Dia bilang “politik yang dewasa tidak begitu bu. Setiap orang
harus mau mendengar pikiran orang lain. “aku bilang lagi, “pokoknya hati-hati,
di negeri ini politik selalu ebrarti kekerasan, bukan pemikiran.”
BAPAK
Terus, apa katanya?
IBU
Dia bilang. Main kekerasan sudah harus
dihentikan, karena kekerasan itu kampungan!
BAPAK
Kalau kita semua masih kampungan bagaimana?
IBU
Bilanglah sama dia! Makanya jadi bapak ngobrol
sedikit dong sama anak. Jangan Cuma ngurusi kebatinan melulu. Coba kalau waktu
itu bapak sempat diskusi, barangkali tidak terlalu nekad itu anak.
BAPAK
Sama saja. Anak muda biasanya nekad. Justru
orang-orang tua yang suka cari selamat.
IBU
Satria. Baru apa dia sekarang?
BAPAK
Bu, siapa itu ibunya pacaranya Satria?
IBU
Calon besan?
BAPAK
Iya, yang janda itu.
IBU
Yang diingat kok jandanya!
BAPAK
Lho, memang janda toh?
IBU
Iya, iya. Ibu Saleha, ibunya Saras. Kenapa?
BAPAK
Waktu dia kesini terakhir kali, dia seperti mau
bilang sesuatu.
IBU
Mau bilang apa?
BAPAK
Aku tidak tahu. Waktu itu aku tidak berpikir
apa-apa. Tapi sekarang, kalau kuingat-ingat, ia seperi ingin menyampaikan
sesuatu. Soalnya, tidak ada alasan pasti kenapa ia datang.
IBU
Dia menanyakan perkembangan Satria
BAPAK
Orang hilang kok ditanya perkembangannya!
IBU
Sudah ada titik terang apa belum, begitu lho,
diberi simpati kok malah sinis.
BAPAK
Dia itu seperti ingin kita mengerti, kalau Saras
mau kawin. Harap maklum.
IBU
Ya tidak apa-apa kan, kalau dia bermaksud
begitu?
BAPAK
Hmmmh! Setia sekali Saras situ!
IBU
Eh, Saras situ memang setia lho pak. Cuma ibunya
yang pengin dia tidak usah menunggu Satria.
BAPAK
Orang diculik kok tidak mendapaty simpati.
IBU
Wah, asal tahu pak, ada juga lho yang nyukurin.
BAPAK (Kaget)
Apa? Nyukurin?
IBU
Iya, maksudnya salah sendiri Satria ikut-ikutan
jadi aktifis. Kalau diculik ya resikonya.
BAPAK
Artinya, kalau jadi aktifis, maka dia boleh
diculik.
IBU
Itu pikiran mereka. Sebenarnya seperti kita juga
kan pak, alergi dengan politik. Lha wong yang diomongin demokratisasi, kok
ketemunya clurit. Siapa yang tidak alergi? Cuma kebetulan anak kita kelewat
peduli dengan masalah social, ujung-ujungnya jadi politik juga, meskipun dia
muak dengan partai-partaian. Kalau tidak, apa kamu juga akan peduli dengan
politik?
BAPAK
Sampai sekarang aku juga tidak ingin peduli. Sok
tahu semua.
IBU
Tapi terpaksa peduli kan, karena anak kita
diculik?
BAPAK
Peduli tapi tidak ikut-ikutan. Hmmmm, partai.
Apa ada harapan dengan partai?
IBU
Politik itu sejarahnya tidak ada yang beres.
Orang-orang diciduk, orang-orang disembelih, orang-orang dipenjara dan dibuang
tanpa pengadilan. Aku masih ingat semua kisah sedih yang tidak bisa diucapkan
itu. Keluarga yang kehilangan bapaknya, anak yang kehilangan ibunya, istri yang
kehilangan suaminya. Mereka tidak mengucapkan apa-apa. Tidak bisa mengucapkan
apa-apa. Tertindas. Keplenet. Tidak pernah ngomong karena takut salah. Padahal
tentu saja tidak ada yang lebih terluka, tersayat dan teriris selain kehilangan
orang-orang yang tercinta dalam pembantaian. Orang-orang diperkosa demi
politik, orang-orang dibakar, harta bendanya dijarah, bagaimana orang bisa
hidup dengan tenang? Hanya politik yang bisa membuat orang membunuh atas nama
agama. Mana ada agama membenarkan pembunuhan. Apakah ini tidak terlalu
berbahaya? Politik hanya peduli dengan manusia. Apalagi hati manusia. Apakah
kamu bisa membayangkan pak, luka di setiap keluarga itu?
BAPAK
Ya.
IBU
Aku sungguh tidak mengerti, bagaimana manusia
tidak bisa menerima perbedaan. Apa orang itu tidak boleh berbeda?
BAPAK
Perbedaan itulah
yang selalu dianggap mengganggu.
IBU
Apa semua orang itu harus sama? Harus seragam?
Sama pikirannya, seleranya bahkan tingkah lakunya? Apa harus begitu?
BAPAK
Sudahlah, bu. Kita semua kan kurang pendidikan!
Tidak ada orang berpendidikan bacok-bacokan!
IBU
Justru pendidikan itu digunakan untuk mengibuli
orang. Pendidikan terror saja ada. Bukan untuk meneror sorang saja, tapi juga
untuk masyarakat. Itu juga hasil pendidikan lho. Pendidikan luar negeri malah.
Dan tidak sembarang orang bisa mengendalikan masyarakat sesuai dengan tujuan
terornya. Jadi pendidikan bukan jaminan, pak.
BAPAK
Yang kumaksudkan pendidikan yang membudayakan
manusia. Terror sih bukan kebudayaan, bu.
IBU
Siapa bilang? Apa betul begitu?
BAPAK
Maskudmu?
IBU
Aku ragu dengan semua pendapat yang sudah
diterima sebagai kebenaran tanpa dipertanyakan lagi.
BAPAK
Wah, kamu pasti kebanyakan baca buku
IBU
Itulah pendidikan, Pak. Bukan menghapal, tapi
mempertanyakan.
BAPAK
Nah, itu yang dibilang Satria kalau debat
denganku
IBU
Tapi aku membaca sendiri. Aku tidak mengutip
Satria
BAPAK (Setelah jeda)
Hmmm. Kekerasan. Kekerasan. Anak bungsu kita
sendiri diculik dan sampai sekarang tidak kembali.
IBU
Jangan bilang tidak kembali. Satria hanya belum kembali.
BAPAK
Bu! Sudahlah! Hentikan mimpimu! Satria sudah
tidak ada. Kalau masih hidup, pasti dia sudah lama dikembalikan.
IBU (Menangis)
Mana kita tahu dia sudah dibunuh atau tidak?
BAPAK (Menghampiri)
Bu! Maafkan aku, Bu! Kurasa tidak pantas aku mengatakan
Satria sudah mati.
IBU (Masih menangis)
Sudah setahun lebih. Setiap malam aku berdoa
mengharapkan keselamatan Satria; hidup atau mati. Aku hanya ingin kejelasan.
Kalau satria sudah meninggal, aku tahu dia dibunuh karena pendiriannya. Apapun pendiriannya,
dia mati terhormat. Aku bangga kepadanya. Tapi kalau memang dia begitu
membanggakan, mengapa harus diculik, mengapa harus disekap begitu lama sehingga
sampai sekarang belum kembali? Mengapa? Mengapa? Mengapa kau culik anak kami?
BAPAK (Meninggalkan Ibu)
Sudah setahun lebih.
Me-nga-pa-ka-u-cu-lik-a-nak-ka-mi. mengapa kau culik anak kami? Ini pertanyaan
yang tidak akan bisa dijawab. Apa bisa pertanyaan ini dijawab oleh seseorang
yang merasa memberi perintah menculiknya? Apa bisa seseorang mengakuinya dengan
jujur: “ Aku perintahkan agar mereka diculik, karena mereka berani-beraninya
menggugat kekuasaanku. Mereka itu kurang ajar!” bisakah, bisakah seseorang yang
berkuasa mengakui keangkuhannya?
JAM WESMINTER BERDENTANG SATU KALI. BAPAK
MENUTUP JENDELA, MENUTUP GORDEN.
BAPAK (Setelah jeda)
Bu, sudah larut. Kamu tidak mau tidur?
IBU
Bapak pikir apa yang bisa membuat kita bisa
tidur? Tidurlah kalau mau. Aku tidak pernah bisa tidur.
BAPAK (Mendekati Ibu)
Aku juga bu, aku capek sekali sebenarnya, tapi
aku tidak pernah bisa tidur.
MUSIK BLUES FADE IN. BAPAK DAN IBU DUDUK DI
KURSINYA MASING-MASING. TUBUH MEREKA TERKULAI BAGAIKAN ORANG MATI, TAPI MEREKA
TIDAK MATI. MEREKA HANYA CAPAI SEKALI. MUSIK BLUES FADE OUT. LAMPU PADAM.